“Saya Hanya Mengikuti Perintah Atasan” Adalah Pembelaan Yang Dibenarkan Jika Bawahan Melakukan Kesalahan Dalam Militer

 Kajian oleh : LP2DH

Editor : Raisa Rizqiya

    “Saya hanya mengikuti perintah atasan” mencerminkan sikap bahwa seseorang bawahan telah melaksanakan tugas atau instruksi yang diberikan oleh atasan atau komandan mereka. “Saya hanya mengikuti perintah atasan” adalah pembelaan yang dibenarkan jika bawahan melakukan kesalahan terjadi dalam militer. Di dalam militer terdapat budaya hierarki atau komando yang ketat dimana setiap bawahan harus mengikuti setiap perintah atasannya. Di Militer bawahan tidak diajarkan untuk mengambil keputusan sendiri dan harus mengikuti keputusan atasannya. Atasan cenderung memegang kendali terhadap bawahannya karena bawahan terikat terhadap atasannya. Dilihat dari akar filosofisnya yaitu berdasarkan sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Berkaitan dengan hak dan kewajiban. Sebagai atasan memiliki kewajiban sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terhadap bawahannya. Begitu pula dengan bawahan yang memiliki kewajiban harus tunduk dan patuh terhadap atasannya. Apabila suatu bawahan melawan atasan maka dia dianggap melanggar sumpah. Mengikuti perintah atasan selalu dibenarkan dalam konteks militer karena merupakan asas utama disiplin dan keberhasilan operasi.

    Dalam Pasal 106 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer “Militer, yang sengaja dengan tindakan nyata, menyerang seseorang atasan, melawan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merampas kemerdekaannya untuk bertindak ataupun memaksanya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melaksanakan atau mengabaikan suatu pekerjaan dinas, diancam karena insubordinasi dengan tindakan nyata dengan pidana penjara maksimum Sembilan tahun”. Dalam hukum militer, tidak taat pada perintah atasan dapat dianggap sebagai tindakan insubordinasi, yang merupakan pelanggaran disiplin. Tindakan insubordinasi adalah tindakan melawan atasan atau tidak melaksanakan perintah atasan yang merupakan bentuk pelanggaran berat dalam militer. Di militer dididik dan diajarkan bahwasannya atasan itu selalu benar karena memiliki pengalaman, jadi tidak perlu dipertanyakan, pengetahuan dan pengalamannya yang dianggap sudah mumpuni. Bawahan mengikuti perintah atasan karena takut dikucilkan. Di dunia militer, menolak perintah atasan akan mendapat sanksi yang berat. Maka dari itu para prajurit mempunyai tuntutan untuk mengikuti semua perintah atasannya. Karena dunia militer berbeda, mereka dituntut untuk segera melaksanakan perintah atasan yang mana bawahan tidak sempat mempertimbangkan apakah perintah tersebut benar atau salah. Berkaca dari beberapa pengalaman mereka yang merupakan bawahan, yang mana sebenarnya banyak prajurit yang ingin menghindar akan perintah atasan yang menyimpang. Namun tidak bisa karena, sebelum menjalankan tugas para prajurit diberi sebuah surat yang berisi nama-nama orang akan menjalankan perintah dari atasannya.

    Pada Pasal 126 KUHP Militer “Militer, yang dengan sengaja menyalahgunakan atau menganggapkan pada dirinya ada kekuasaan, memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara maksimum lima tahun.” ini mengatur tentang perlindungan terhadap bawahan. Dimana bawahan tidak turut dalam melakukan, dan hanya atasan yang bertanggung jawab atas tindakannya. Sesuai juga dengan Pasal 51 KUHP “(1) Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan i’tikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” bahwa bawahan menganggap setiap perintah atasan adalah i’tikad baik. Yang mana hal ini bisa menjadi alasan pemaaf.

    Pada Pasal 18 UU No. 25 Tahun 2014, “Dalam melaksanakan perintah, Bawahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, wajib: (a) memahami maksud dan isi perintah yang diberikan, apabila belum jelas wajib bertanya kepada Atasan yang memberikan perintah; (b) mengulangi isi perintah atau menyampaikan pemahaman tentang maksud perintah tersebut kepada Atasan yang memberi perintah; (c) menyampaikan laporan kepada Atasan yang memberi perintah atas pelaksanaan dan hasil yang dicapai dari perintah; dan (d) bertanggung jawab kepada Atasan yang memberikan perintah atas pelaksanaan perintah.” Bawahan harus memahami setiap perintah atasannya. Jika belum jelas maka wajib bertanya kepada atasan. Ketika mengikuti suatu perintah atasan, bawahan seharusnya mempunyai pertimbangan individu sendiri terkait mana moral yang baik dan yang tidak.

    Apakah ada peraturan atau ada kode etik terhadap hal ini? Di dalam militer terdapat kode etik namun tidak resmi seperti advokat, dan lainnya yang tertulis. Hanya seperti sumpah misalnya harus mengikuti seluruh perintah atasannya. Apakah jika atasan memerintahkan untuk membunuh seseorang harus tetap diikuti? Itulah yang dipertanyakan. terhadap isu ini perintah atasan tidak bisa dijadikan pembelaan untuk bebas dari pidana. seperti kasus Ferdy Sambo, bawahan tetap dijatuhkan hukuman apabila dianggap hakim bersalah. Secara perdata, antara atasan dan bawahan ada perikatan, perintah membunuh oleh atasan melanggar undang-undang yang berlaku. Mengacu dengan Pasal 51 KUHP, ketika bawahan disuruh melakukan pembunuhan jika ada niat dari bawahan untuk melakukan pembunuhan tersebut maka alasan “saya hanya mengikuti perintah atasan” tidak dapat dibenarkan, membunuh merupakan perbuatan yang sudah melampaui batas yang mana ini sudah tidak dapat dibenarkan. Jika kesalahan bawahan tidak berdasarkan perintah atasan, maka sudah jelas bawahan yang akan bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut. Jika dibandingkan, maka lebih baik melanggar kode etik dari pada undang-undang yang berlaku. Seharusnya bawahan, apabila merasa atasan sudah melanggar peraturan, maka bisa melaporkan dan tidak perlu mengikuti karena sudah dijamin oleh undang-undang. Sebagai prajurit harus berani, harus menyadari apa yang benar dan salah. Kesadaran dan keberanian sangat diperlukan untuk diri bawahan.

    Ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, kesalahan dan kedua, dibenarkan, karena ini dua hal yang berkesinambungan, karena yang perlu kita lihat terlebih dahulu adalah kesalahan seperti apa yang dilakukan sehingga dapat dibenarkan dengan dasar perintah atasan karena setiap individu, termasuk prajurit, memiliki tanggung jawab pribadi atas tindakannya. Mereka tidak dapat melepas tanggung jawab dengan dalih "mengikuti perintah" belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban komando (command responsibility). Prajurit seharusnya dapat menilai dan menolak perintah yang ilegal atau tidak etis. Mengikuti perintah buta adalah cerminan kurangnya profesionalisme dan bertentangan dengan kode etik militer. Dalam banyak kasus pelanggaran HAM, pembelaan "ikut perintah atasan" telah digunakan oleh pelaku namun pengadilan tetap menyatakan mereka bersalah. Hal ini menunjukkan pembelaan tersebut tidak dapat menghapus tanggung jawab individu.

    Dilihat dari sisi pertanggungjawaban tergantung dengan situasi dan kondisi, Jika kondisi yang mendesak dan tidak memungkinkan bawahan untuk berpikir maka atasanlah yang bertanggungjawab. Bawahan juga bisa disalahkan, diberi hukuman dan dipertanggungjawabkan jika dalam kondisi yang tenang yang artinya dia masih bisa berpikir apakah itu perbuatan yang benar atau salah. Hal ini cukup bertitik berat pada penilaian dan pertimbangan hakim. seberapa besar tanggung jawab tentu yang memberi perintah, tapi bukan berarti bawahan lepas dari tuntutan, jadi tergantung pertimbangan hakim.

    Ada 2 dilema dalam membuktikan, yang pertama “dia mengikuti arahan” dan yang kedua “melakukan kesalahan’. Untuk membebaskan pidana ada alasan pembenar dan alasan pemaaf. alasan pemaaf dapat diberikan hakim jika bawahan melakukan perintah dalam keadaan gejolak batin yang membuat bawahan terpaksa melakukan artinya bawahan tidak punya waktu berpikir atau daya paksa. Perlu dibuktikan di pengadilan apakah benar atasan melakukan perintah? Jika terbukti memang benar dia merasa bersalah, maka ada alasan pemaaf. Namun, jika tidak berhasil membuktikan, dan tidak dalam kondisi terdesak, maka yang bertanggung jawab keduanya yaitu atasan dan bawahan. Pasal 127 Undang-Undang Hukum Pidana Militer “Militer, yang dengan menyalahgunakan pengaruhnya sebagai atasan terhadap bawahan, membujuk bawahan itu untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, apabila karenanya dapat terjadi suatu kerugian, diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun.” ini melindungi bawahan, maka jika bertentangan dengan undang-undang maka yang mendapatkan hukuman adalah atasan. Maka dari itu, ini harus diperhatikan apakah benar adanya atau itu hanya bentuk perlindungan agar dia tidak disalah hukuman.

    Secara perdata ada syarat materiil perbuatan melawan hukum dalam pasal 1365 KUHPerdata “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pertama, jika bawahan melakukan perintah jabatan yang melanggar hak subjektif orang lain maka dikatakan perbuatan melawan hukum. kedua, melanggar undang-undang sudah memenuhi unsur kesalahan, kesalahan ini berupa kelalaian (syarat kelalaian bertentangan dengan hukum, tidak membayangkan dapat merugikan orang lain) yang seharusnya dia bisa membayangkan tindakannya bisa membahayakan orang lain. Ketiga, unsur kerugian membunuh orang akan merugikan korban tersebut. Keempat, ada hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian. Di tinjau dari sisi atasan, pada pasal 1367 dikatakan bahwa tidak hanya bertanggungjawab yang menimbulkan kerugian dari dirinya sendiri tetapi kerugian orang yang dibawah pengawasannya. Secara pidana, seorang atasan dapat dikenakan pasal 55 KUHP terkait penyertaan dalam delik, pembunuhan yang dengan sengaja menyuruh orang lain untuk membunuh. Di pasal ini juga terkait mereka yang melakukan, artinya bawahan juga dapat dijerat dengan pasal ini. Hukum adalah seni penafsiran dalam pengadilan dan bukti lebih terang dari cahaya Yang mana bukti-bukti ini sangat penting dalam pengadilan.

    Kesimpulannya, dalih “saya hanya mengikuti perintah atasan” dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan, tergantung situasi dan kondisi bawahan tersebut ketika melaksanakan perintah atasan dan keputusannya tergantung dengan pertimbangan dan keputusan hakim maka dalam hal ini bukti-bukti sangat dibutuhkan untuk mengungkap kebenaran. Terdapat banyak pasal yang mengatur mengenai hal ini. “Saya hanya mengikuti perintah atasan” dapat dibenarkan apabila bawahan dalam kondisi terdesak dan terpaksa melakukan perintah atasan tersebut yang melanggar undang-undang karena dapat dikenakan alasan pemaaf. Namun, “saya hanya mengikuti perintah atasan” tidak dapat dibenarkan apabila bawahan tidak dalam kondisi terdesak dan masih sempat berpikir dan menolak perintah tersebut yang merupakan perbuatan melawan hukum. Dalam arti dalih itu digunakan sebagai alasan agar dia bebas dari tuntutan maka ini tidak dapat dibenarkan. pembelaan ini tidak dapat menghapus tuntutan. Maka dari itu, harus sangat diperhatikan kebenaran kondisi yang dialami bawahan tersebut ketika melaksanakan perintah atasan yang merupakan tindakan melawan hukum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Sistem Electronic Voting dalam Pemilu 2024

Revisi Aturan Masa Tenang Sebelum Hari Pemungutan Suara untuk Mencegah Kampanye Bawah Tangan yang Mengganggu Independensi Pemilih