Kajian Oleh: LP2DH
Editor: Putri Ramadhaniah
Masa tenang, sebuah frasa yang sarat akan makna dalam perhelatan demokrasi. Tiga hari menjelang pencoblosan diibaratkan sebagai momen jeda untuk merenungkan pilihan tanpa terpapar hiruk pikuk kampanye. Pernyataan ini didukung dengan adanya peraturan yang tertuang dalam UU No.7 Tahun 2017 Pasal 167 ayat (4) tentang Pemilihan Umum yang melarang segala bentuk kampanye baik melalui media sosial, media massa, media cetak maupun publikasi survei elektabilitas. Namun, fakta di lapangan kerap kali bersinggungan. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang netral tak jarang disalahgunakan untuk kampanye terselubung (black campaign). Black campaign melalui media sosial merupakan bentuk pelanggaran demokrasi yang berbahaya. Hal ini dapat menyesatkan publik, merusak citra kandidat lain, dan memicu polarisasi di masyarakat. Realita menunjukkan celah regulasi dan minimnya penegakan hukum membuat masa tenang layaknya sebuah ilusi.
Caleg dengan akun pribadi mereka masih berlomba-lomba menarik simpati dan suara yang mengaburkan batas antara informasi dan propaganda. Lantas masyarakat bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin calon anggota legislatif tidak mengetahui aturan sekecil masa tenang?". Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, terlebih dengan maraknya kampanye terselubung di media sosial yang mencederai demokrasi dan membingungkan pemilih. Kampanye terselubung, seperti yang ditampilkan dalam film "Dirty Vote" yang diterbitkan tanggal 11 Februari 2024 telah menjadi trending topic di berbagai media sosial menjelang pemilu. Film ini merupakan karya Dandhy Dwi Laksono dan timnya dengan mengangkat isu kecurangan pemilu yang dikaji oleh tiga ahli Hukum Tata Negara (HTN) yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Berdurasi 1 jam 57 menit dan membahas berbagai bentuk kecurangan pemilu yang dapat terjadi, mulai dari politik uang, manipulasi data, hingga intimidasi terhadap pemilih. Tiga ahli HTN dalam film ini memberikan analisis dan pandangan mereka tentang berbagai bentuk dan dampak kecurangan pemilu terhadap demokrasi di Indonesia.
Peluncuran film ini di masa tenang menuai kontroversi dan menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat. KPU dan Bawaslu mengkhawatirkan film ini dapat mempengaruhi pilihan masyarakat dan mengganggu jalannya pemilu yang jujur dan adil. Sebagian masyarakat ada yang beranggapan bahwa film ini penting untuk ditonton sebagai edukasi. Namun, ada juga yang merasa film ini sebagai bentuk kampanye terselubung untuk salah satu paslon yang dapat menimbulkan keresahan dan provokasi. Sutradara dan produser mengklaim bahwa film peluncuran film ini pada masa tenang bukan bagian dari kampanye terselubung dan bertujuan untuk membuka mata masyarakat tentang realitas politik yang tidak selalu seindah yang dibayangkan. Film ini ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa kecurangan pemilu dapat terjadi dengan berbagai cara, dan bahwa hal ini dapat berdampak besar pada demokrasi di Indonesia. Film ini juga ingin mendorong masyarakat untuk lebih kritis dalam memilih pemimpin dan untuk aktif dalam mengawal jalannya pemilu karena berisikan fakta-fakta tentang semua paslon, bukan hanya satu, dan bertujuan untuk membuka mata masyarakat tentang realitas politik yang tidak selalu seindah yang dibayangkan.
Lalu perlukah diadakan revisi aturan mengenai masa tenang ini atau tetap dengan aturan yang sama tetapi pelaksanaannya diperbaiki lagi? hal tersebut dirasa kurang diperlukan menimbang bahwa revisi aturan bukanlah solusi instan, membutuhkan waktu lama dan proses yang rumit. Sehingga pentingnya penegakan hukum yang tegas dan konsisten menjadi fokus utama. Hal ini dapat memberikan efek jera bagi pelanggar aturan dan menciptakan masa tenang yang efektif. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan membangun tim khusus yang bekerja secara undercover, layaknya intel untuk memantau dan menindak pelanggaran secara lebih efektif. Pihak kepolisian dapat menekankan kepada masyarakat dengan cara melakukan sosialisasi ke RT atau RW secara terus menerus dan mengatakan apa yang boleh dan tidak boleh pada saat pemilu serta menindak tegas para pelaku serangan fajar
Pentingnya edukasi politik di era digital tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi, jangan sampai mengabaikan etika dan hukum dalam prosesnya. Masih ada banyak cara untuk mengedukasi masyarakat tentang politik dengan cara yang legal dan etis. Dengan upaya bersama dari pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat, kita dapat menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan berintegritas, serta menjaga demokrasi di era digital. Kita sebagai mahasiswa hukum pun memiliki peran untuk lebih memasifkan sosialisasi kepada lingkungan sekitar dikarenakan realitas yang terjadi masyarakat masih menunggu dan mewajarkan adanya serangan fajar. Dengan menggunakan konsep sosialisasi yang menjadikan audiens sebagai pelopor, mereka bukan hanya datang sebagai peserta. Tapi juga bisa jadi pelopor di lingkungan mereka mengenai apa yang mereka pahami dan dapatkan sehingga dapat mereka terapkan kepada diri mereka.
Masa tenang adalah esensi demokrasi. Ia bukan sekadar aturan, tapi momen refleksi bagi pemilih dan kesempatan bagi penyelenggara untuk memastikan pemilu yang bersih dan adil. Film "Dirty Vote" dapat menjadi alat edukasi yang bermanfaat, namun perlu diwaspadai potensi penyalahgunaannya untuk propaganda. Sehingga penting untuk mencermati berbagai sudut pandang dan informasi terkait film ini sebelum mengambil kesimpulan. Alih-alih terjebak dalam polarisasi dan propaganda, sebaiknya kita memanfaatkan film ini sebagai bahan edukasi untuk meningkatkan pemahaman tentang potensi kecurangan pemilu. Kita juga perlu mengevaluasi sistem pemilu yang ada dan mendorong perbaikan agar pengimplementasian UU Pemilu mendatang dapat berjalan dengan lebih transparan, adil, dan akuntabel. Mari kita jaga masa tenang demi demokrasi yang sehat dan bermartabat.
Masa tenang adalah esensi demokrasi. Ia bukan sekadar aturan, tapi momen refleksi bagi pemilih dan kesempatan bagi penyelenggara untuk memastikan pemilu yang bersih dan adil. Film "Dirty Vote" dapat menjadi alat edukasi yang bermanfaat, namun perlu diwaspadai potensi penyalahgunaannya untuk propaganda. Sehingga penting untuk mencermati berbagai sudut pandang dan informasi terkait film ini sebelum mengambil kesimpulan. Alih-alih terjebak dalam polarisasi dan propaganda, sebaiknya kita memanfaatkan film ini sebagai bahan edukasi untuk meningkatkan pemahaman tentang potensi kecurangan pemilu. Kita juga perlu mengevaluasi sistem pemilu yang ada dan mendorong perbaikan agar pengimplementasian UU Pemilu mendatang dapat berjalan dengan lebih transparan, adil, dan akuntabel. Mari kita jaga masa tenang demi demokrasi yang sehat dan bermartabat.
Komentar
Posting Komentar