Korelasi Pembaharuan Masa Pemidanaan Pelaku Korupsi Dalam KUHP Sebagai Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kajian oleh : LP2DH FH ULM
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berasal dari
peraturan yang dibuat pada zaman kolonial Belanda, yang berlaku di Indonesia
sejak tanggal 1 Januari 1918, namun sekarang sudah tidak diberlakukan lagi
sejak 6 Desember 2019, yang mana KUHP buatan belanda tersebut diganti dengan
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Beberapa hari setelah
pengesahan, cukup banyak pasal yang kontroversial dan yang menjadi sorotan pada
topik diskusi ini adalah masa pidana pelaku tindak korupsi.
Bagaimana korelasi pembaharuan masa pemidanaan terhadap pelaku korupsi
dalam KUHP yang baru?
Secara hukum, tindak pidana terbagi menjadi dua, yaitu
Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus. Korupsi adalah salah satu tindak
kejahatan luar biasa yang secara khusus yang sudah diatur dalam UU khusus
seperti UU Tipikor. Dalam RKUHP yang berlaku, seolah-olah menganggap bahwa
korupsi sebagai tindak pidana umum. Seharusnya tindak pidana korupsi diatur
secara khusus dan tidak di intervensi dengan UU lain, hal ini sesuai dengan
asas hukum lex specialis derogat legi
generalis, yang maksudnya bahwa peraturan perundang-undangan khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum.
Sedangkan, apabila ditinjau dari asas lex posterior derogat legi priori, yang maksudnya, peraturan undang-undang baru dapat menyampingkan atau meniadakan peraturan yang lama. Pemberlakuan pasal tentang korupsi dalam RKUHP, secara otomatis membuat ketidakpastian hukum terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini, karena asas ini digunakan untuk mencegah adanya dua peraturan perundang-undangan yang secara hierarki sederajat, dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini juga menurunkan standar yang awalnya korupsi sebagai kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa. Hal ini menimbulkan bahwa sebenarnya tidak ada korelasi antara pembaharuan pemidanaan pelaku korupsi dengan upaya pemberantasan korupsi.
Apakah pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian ini dapat
dijatuhkan pada pelaku tindak pidana korupsi?
Dalam RKUHP ada mengatur tentang pidana tambahan, yaitu pembayaran ganti kerugian. Pertanyaan tersebut diajukan dengan mengingat pidana tambahan ini hanya dijatuhkan untuk dibayarkan kepada korban kejahatan atau ahli warisnya. Sementara dalam tindak pidana korupsi sekalipun sesungguhnya dapat pula menimbulkan kerugian pada masyarakat. Namun, pada umumnya tidak bersifat kerugian individual. Seharusnya pemberantasan korupsi fokus kepada penyelamatan uang negara daripada debat memperberat pidana penjara terhadap pelaku, selanjutnya bahwa ke depan cara pandang terhadap korupsi sebagai kejahatan keuangan pidana kurungan badan bukan yang utama melainkan bagaimana uang yang sudah dirampok dikembalikan ke negara. Namun bahwasanya tujuan hukum adalah memberikan efek jera. Dengan pemberlakuan masa hukuman dalam RKUHP tersebut,
Apakah akan memberi efek jera pada para pelaku korupsi tersebut?
Dalam pasal 603-606 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU. No. 21 tahun 2001 menyebutkan bahwa
a. Tindak pidana korupsi pada pasal 603 RKUHP juga dikenakan
denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta dan paling banyak Kategori VI
atau Rp2 miliar. Denda ini berkurang dari pasal 2 UU Tipikor yakni paling
sedikit Rp200 juta.
b.
Pasal 604 KUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta
merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama 2 tahun penjara,
padahal pada Pasal 2 UU Tipikor hukuman untuk tindakan serupa diberi 4 tahun
penjara. Ketika di KUHP berkurang menjadi 2 tahun penjara, begitu pun dengan
dendanya. Jadi yang berkurang bukan hanya kurungan penjara tapi juga dendanya.
Pada UU Tipikor menetapkan denda itu paling sedikit 200 juta. Namun, pada Pasal
604 KUHP dendanya berkurang menjadi 10 juta.
c. Bagi pelaku tindak pidana suap, tak banyak perubahan dibanding UU Tipikor. Pada Pasal 605 diatur bagi pelaku tindak pidana suap hukuman pidana masih sama yakni paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Namun, pidana denda mengalami kenaikan. Pada pasal 605 pelaku suap paling sedikit dikenakan denda kategori III atau Rp50 juta dan maksimal kategori V atau Rp500 juta. Sementara itu, pada Pasal 5 UU Nomor 20/2001 dikatakan bahwa pemberi suap dapat didenda paling banyak Rp250 juta.
Hal ini jelas
membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada korelasi antara pembaharuan masa pidana
dengan upaya pemberantasan korupsi. Selain itu juga dapat menyebabkan efek jera
yang diberi pada pelaku korupsi berkurang. Hukuman pada UU Tipikor saja masih
banyak terjadi tindak korupsi apalagi hukumannya semakin diberi keringanan.
Selain itu, pengaturan Tipikor pada KUHP menimbulkan dualisme hukum dan
menyulitkan aparat hukum dalam menghadapi korupsi. Belum lagi fenomena para
koruptor yang melakukan jual beli fasilitas negara, seperti gayus tambunan yang
bahkan bisa bepergian ke luar negeri, dan dapat disimpulkan bahwa hukuman
penjara yang dulu diberlakukan dengan frekuensi kurungan berat sekali pun tidak
bisa menjamin jual beli fasilitas masih bisa terjadi di lingkungan tindak
pidana koruptor. Dengan kata lain korelasi yang terjadi di lapangan tidak
terlaksana dengan baik.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hal ini secara tak langsung menurunkan standar kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa seperti tindak korupsi ini juga berimbas pada sanksi, hukuman, dan denda yang diberikan pemerintah dalam menghadapi tindak pidana korupsi menjadi lebih ringan dan dirasa kurang memberikan efek jera.
UU No. 31 Tahun 1999 beserta perubahannya No. 20 Tahun 2001 ada 7 jenis korupsi diantaranya yaitu merugikan keuangan negara, suap, perbuatan curang, gratifikasi, pemerasan, pembentukan kepentingan, penggelapan. Namun di KUHP hanya 2 jenis korupsi yang ada yaitu merugikan keuangan negara dan suap, dan di suap menyuap hanya sebagian pasal yang diambil.
Lantas, apa yang terjadi apabila hanya beberapa jenis korupsi tertentu saja yang diatur?
Berbicara mengenai suap, masa pembaharuan tindak pidana pada Pasal 607 mengenai suap menciptakan polemik di kalangan masyarakat, karena terjadi kejanggalan yang menyatakan bahwa suap bagi pegawai negeri dan hakim bukan lagi sebagai tindak pidana korupsi. Tentu saja ini bertentangan dengan logika hukum, yang mana sudah berkembang dimasyarakat nasional maupun internasional.
Masyarakat internasional mengakui bahwa
suap terhadap pegawai negeri maupun pegawai swasta dikategorikan sebagai
tindakan suap. Namun dalam KUHP baru justru perilaku suap terhadap pegawai
negeri dan hakim tidak termasuk suap, sedangkan terhadap pegawai swasta termasuk
suap. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada keadilan hukum berasaskan filosofis
Pancasila sila ke-5 yang melatarbelakangi kenapa pembaharuan masa pidana
terhadap KUHP ini tidak bisa memberi kolerasi yang baik dalam pemberantasan
korupsi.
Memang penting
dilakukan pembaharuan hukum pidana jika memiliki tujuan untuk memperbaharui
baik dari segi tindak pidana, pemidanaan, dan pertanggung jawaban. Misalnya
dengan dimasukkannya ketentuan UU Tipikor ke dalam RKUHP pemerintah berharap
sistem hukum pidana nasional menjadi terintegrasi, proses kodifikasi tersebut
tidak akan menghilangkan sifat khusus UU Tipikor dalam penanganan kasus korupsi
sebab RKUHP hanya mencantumkan ketentuan tindak pidana pokok yang diatur UU
Tipikor. Tetapi pengaturan Tipikor pada KUHP menimbulkan dualisme hukum dan
menyulitkan aparat hukum dalam menghadapi korupsi karena wewenang mereka dalam
menghadapi kasus korupsi terjadi tumpang tindih (overlapping)
Asas hukum
secara umum merupakan suatu prasangka yang tidak menggambarkan suatu kenyataan,
tetapi suatu harapan. Jika delik korupsi dimasukkan ke dalam RUU KUHP, maka
yang menjadi pertanyaan apakah KPK yang sekarang dibubarkan atau tidak, jika
tidak bagaimana dengan hukum acaranya? Penetapan ancaman yang lebih ringan di
RKUHP daripada UU khusus menyebabkan kekhawatiran pada sebagian masyarakat
tentang konsistensi pemerintah dalam rangka pemberantasan tindak pidana
tersebut.
KUHP yang ada sekarang tidak sesuai
dengan perkembangan zaman, dan banyak ketidakpastian hukum. Hal ini dikarenakan
sejak merdeka, pemerintah belum menetapkan terjemahan WVSNI atau nama asli
KUHP. Akibatnya multitafsir rentan terjadi dalam pemaknaan KUHP yang berbeda-beda.
Seharusnya Indonesia memiliki induk peraturan hukum pidana yang dibuat sendiri.
Dapat dilihat bahwa pembaharuan yang sekarang itu bertujuan untuk membuat hukum
sendiri. Walaupun masyarakat menganggap RKUHP ini melenceng dari dasar negara
kita Pancasila, setidaknya kita sudah mempunyai UU Regulasi yang mengatur
pidana dinegara sendiri tanpa ada intervensi dari negara lain.
Berdasarkan Pancasila, keadilan untuk seluruh rakyat
Indonesia. Dapat dilihat RKUHP yang sudah disahkan tidak sesuai dengan sila
kelima tersebut, setidaknya Indonesia memiliki hukum sendiri. Tapi tidak
menutup kemungkinan bahwa hukum tersebut dapat kita perbaiki di lain hari,
karena sekarang sedang dalam masa reformasi/percobaan. Jika banyak protes dari
masyarakat, maka bisa menjadi desakan untuk pemerintah agar mengubah peraturan
pada RKUHP. Kita memerlukan hukum yang baru, karena hukum yang lama banyak
tidak relevan dengan berkembangnya zaman. Dan tujuan pemerintah mengesahkan
RKUHP itu juga untuk melihat reaksi kita terhadap peraturan yang disahkan. Kita
meninjau hal tersebut, kemudian akan dilakukan revisi.
Jadi, apakah ada alternatif solusi untuk menghadapi ketidakpastian
hukum dalam menghadapi tindak pidana korupsi?
Menanggapi solusi pendapat dan permasalahan tersebut,
menurut kami solusi alternatif yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
a.
Memperkuat lembaga-lembaga yang bertugas pada jobdesk
khususnya sebagai pemberantas korupsi seperti KPK. Memperkuat instansi ini
dapat dilakukan dengan cara pemerintah lebih memaksimalkan fasilitas untuk
melangsungkan pekerjaan agar lembaga-lembaga tersebut dapat bekerja lebih
efektif dan efisien.
b. Melakukan penjaringan pemangku kebijakan dengan baik dan ketat untuk mencegah cikal bakal pelaku korupsi khususnya pada lembaga pemerintahan. Dapat dilakukan dengan bersikap teliti dalam setiap tahapan, dan memperhatikan track record dari sang calon terpidana korupsi.
c.
Revisi UU tentang tindak pidana korupsi tahun 2022, dan
ditambah sanksi biaya sosial korupsi bagi koruptor. Sanksi biaya koruptor itu
harus membayar seluruh biaya penyidikan, ketika ia menjalani masa pidana sampai
bebas ia dimiskinkan sampai akhir hayatnya karena korupsi merupakan kejahatan
luar biasa.
Solusi yang dikemukakan tersebut tentunya tidak melahirkan
kesepakatan yang mutlak dan menuai kontroversi secara pro maupun kontra, adapun
beberapa respon tersebut, diantaranya :
a. Untuk penguatan instansi, jika dilihat secara fakta di lapangan, perwujudan dan perlakuan kinerja para instansi penegak keadilan yang kita kehendaki berbeda dengan di lapangan. Malah sebaliknya, apabila difasilitasi pemerintah juga akan merugikan negara. Dengan adanya pembaharuan peraturan yang baru ini, walaupun akan banyak revisi- revisi pada pembaharuannya, juga bertujuan agar lembaga yang berkaitan akan juga ikut lebih kuat.
Tanggapan : Daripada membicarakan pembaharuan hukum, harus disimak bahwa pembaharuan hukum yang ada dapat memberikan efek jera atau tidak. Revisi RKUHP seperti sekarang tidak mudah, dan tidak sebentar waktunya. Daripada membuat RKUHP
memasukkan UU Tipikor yang ada, lebih baik kuatkan pasal Tipikor itu sendiri agar pidana umum dapat kuat.
b. Memiskinkan pelaku korupsi termasuk dengan keluarganya
termasuk bentuk pelanggaran HAM, karena pelaku korupsi bisa saja melakukan
korupsi tanpa diketahui keluarganya. Sama saja kita mengambil hak anak tersebut
yang seharusnya dapat memiliki kehidupan layak menjadi hidup sulit karena
ekonomi. Lagi pula, pemiskinan untuk para pelaku korupsi mencoreng
proporsionalitas dan terkesan sangat dramatis dan tidak memberi
keefektifan.
Tanggapan : Maksudnya dimiskinkan disini tidak semerta-merta dihilangkan hartanya saja, tapi diperlukan adanya tinjauan apakah memang anggota keluarga ini terlibat atau tidak. Sebelum tindak pidana diputuskan akan melalui beberapa proses penegakan hukum diantaranya penyidikan, persidangan, dan peran hakim yang memutuskan. Pelaku korupsi ini harusnya melihat diluar sana banyak rakyat yang ternistakan oleh perbuatannya. Yang dimana harusnya kita mementingkan kepentingan umum terlebih dahulu daripada kepentingan personal.
Setiap tindak
penegakan hukum perlu aturan. Unsur penegakan hukum ada 5 yaitu unsur aturan,
unsur penegakan, sarana dan prasarana, masyarakat dan budaya. Untuk aturan ada
pada unsur pertama, ketika ingin memperbaiki penegaknya tapi unsur satu tidak
diperbaiki maka nihil untuk memberikan solusi.
Lalu, apa yang harus dilakukan jika solusi yang disampaikan tersebut
tidak dapat diwujudkan?
Sejauh ini, Solusi konkret yang sudah
kita punya apabila ada pasal-pasal bermasalah yaitu dengan pengujian berupa Judicial Review. Pada Judicial Review dapat kita ajukan ke MK
terkait pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Namun pernah
terdengar bahwa Judicial Review malah
melemahkan KPK.
Tanggapan solusi Judicial Review sebagai solusi: sebelum
kita menilai suatu kebijakan itu baik atau buruk alangkah baiknya kita netral. Judicial Review yang melemahkan KPK
tidak sepenuhnya benar karena ada beberapa putusan MK di tahun 2019-2020
tentang Judicial Review tentang
perubahan kedua UU No. 15 Tahun 2019 justru hasilnya memperkuat dari penegakan
hukum KPK itu sendiri dimana ada beberapa pasal yang dianggap masyarakat
melemahkan contohnya yang pada UU awalnya KPK harus minta izin ke dewan
pengawas karena kontribusi MK tersebut maka sekarang KPK cukup melakukan
pemberitahuan saja. Dapat ditarik kesimpulan bahwa MK mengkaji penuh
pertimbangan hukum dan tidak ada keberpihakan. Ada sebagian putus yang sulit
diterima, namun ada pula putusan yang sudah sesuai kaidah hukum yang ada. Jadi
tidak selamanya putusan MK dapat dikatakan keberpihakan dan justru melemahkan
dari UU yang diuji.
Komentar
Posting Komentar