Pengesahan RUU KUHP menjadi Undang-Undang yang Berlaku di Indonesia
Kajian oleh : Divisi Penulisan LP2DH
Indonesia sudah merdeka sejak 1945 dan menerapkan KUHP belanda atau Wetboek van Strafrecht (WvS) sejak tahun 1918. Seiring berjalannya waktu, kehidupan setiap generasi di suatu negara pun memiliki perubahan dan kemajuan dalam berfikir ataupun bertindak, baik dalam segi sosial maupun kebiasaan pada masyarakat negara. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu pembaharuan hukum untuk mengatur atau membatasi perubahan dan kemajuan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang melatarbelakangi pengesahan RKUHP, karena KUHP lama atau Wetboek van Strafrecht yang merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda yang dinilai tidak relevan dengan kondisi perkembangan dan kemajuan masyarakat negara di masa sekarang. Pembaharuan hukum ini juga didukung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menurut Yasonna Laoly "Produk Belanda tidak relevan lagi dengan Indonesia … RUU KUHP yang sudah dirancang dinilai sudah sangat reformatif, progresif, juga responsif dengan situasi di Indonesia". Selain itu, berdasarkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusional negara, pada Alinea ke III juga tertulis bahwa " ... supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas", dengan upaya pengesahan RKUHP baru secara langsung membuktikan bahwa Indonesia sudah memiliki kebebasan dalam hal peraturan negara tanpa ada pengaruh negara lain. Akhirnya, pada tanggal 2 Januari 2023 silam, RKUHP resmi disahkan menjadi undang-undang yang berlaku di Indonesia dengan nama UU. No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebagai negara majemuk yang memiliki lebih dari 270 juta penduduk, tentunya banyak menuai polemik, kritik dan aspirasi yang tercurah terhadap keputusan pemerintah untuk pengesahan RKUHP menjadi undang-undang yang berlaku di Indonesia ini. Jika dilihat secara teoritis, substansi RKUHP padahal sudah dinilai memenuhi syarat salah satu teori yang disampaikan oleh JHA. Logemann yang mengatakan dalam pembuatan aturan perundang-undangan harus memenuhi empat ruang lingkup laku hukum yaitu lingkup laku pribadi, lingkup laku waktu, lingkup laku waktu, dan lingkup laku ikhwal. Selain itu, substansi dari KUHP yang telah disahkan ini sudah sesuai dengan dasar filosofis bangsa Indonesia (Pancasila) yang berlandaskan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum.
Lantas, apa yang membuat masyarakat kontra terhadap pengesahan RKUHP?
Nira setitik rusak susu sebelanga, Walaupun dalam perumusannya sudah sesuai dengan teori dan kaidah-kaidah pembuatan undang-undang, terdapat beberapa pasal dalam RKUHP yang dinilai kontroversial, krusial, mengandung overlapping atau bahkan ambiguitas yang akhirnya menimbulkan spekulasi dan stigma yang bermacam-macam terhadap RKUHP secara menyeluruh. Padahal jika dilihat dari sisi kemanfaatan hukumnya, ada banyak pasal baru yang tercantum dalam RKUHP yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP lama. Salah satunya adalah pasal 252 tentang perilaku santet atau perdukunan. Walaupun terkesan aneh dan sulit diterima logika, kasus santet dan perdukunan benar-benar ada dan banyak terjadi di Indonesia. Perilaku santet atau perdukunan ini sangat disarankan untuk diatur dalam undang-undang untuk dikriminalisasi karena sifatnya yang menimbulkan kriminogen, atau dapat menyebabkan tindak pidana lain yang berkaitan dengan kasus tersebut, misalnya pembantaian dan main hakim sendiri (eigenrichting). terhadap dukun. Kendati demikian, khalayak banyak juga berpendapat bahwa dalam RKUHP baru ini banyak sekali pasal-pasal bermasalah yang menuai kontroversi dan seharusnya tidak diatur dalam undang-undang. Misalnya Pasal 218-219 yang mengatur tentang Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden dan Pasal 411-413 tentang Perzinahan. Pasal yang disebutkan tersebut merupakan pasal yang paling banyak disorot dan mendapat perhatian besar oleh masyarakat, sehingga banyak menimbulkan pro dan kontra dalam pengesahannya.
Mengapa Pasal 218-219 tentang Penghinaan Presiden menimbulkan Pro dan Kontra?
Pada KUHP lama, sebenarnya pasal mengenai penghinaan presiden atau wakil presiden ini sudah diatur dalam pasal 131-137, namun pada peimplementasiannya menurut Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa ada tiga pasal yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi. Adapun ketiga pasal tersebut yaitu,
- Pasal 134 yang berbunyi: "Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah."
- Pasal 136 bis menyebutkan: "Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam Pasal 135, jika itu dilakukan di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak dimuka umum baik lisan atau tulisan, namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung."
- Pasal 137 menyebutkan: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya dan pada waktu itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga maka terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tidak ada kepastian dan kekuatan hukum yang mengikat pada pasal penghinaan presiden tersebut. Masyarakat menjadi lebih bebas dalam berekspresi, berpendapat, dan meluapkan aspirasinya terhadap semua lembaga pemerintah yang menjalankan pemerintahan, karena jika pasal penghinaan kepada kepala negara saja sudah dinyatakan tak mengikat dan tidak memiliki kekuatan hukum, apalagi institusi atau lembaga dibawahnya.
Kendati demikian, perihal penghinaan terhadap Presiden yang secara hukum sudah tak ada pasalnya lagi, tiba-tiba dalam RKUHP dimunculkan kembali dalam pasal 218-219 RKHUP yang berbunyi "Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV".
Inilah yang menjadi sebab yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Sama halnya terjadi pada KUHP lama, pasal ini sangat represif terhadap masyarakat dan dapat mengancam kebebasan berpendapat sesuai dengan pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi :
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Kritik terhadap pemerintah itu sangat penting agar pemerintah dapat berbenah diri dan hati-hati dalam mengambil keputusan atas suatu kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu pemerintahan. Apabila dalam RKUHP justru membatasi kebebasan berpendapat untuk mengkritik jalannya pemerintahan, tentu saja ini tidak memiliki keadilan dan kemanfaatan hukum karena hanya akan membuat lembaga pemerintahan semakin kebal dan anti kritik. Pengesahan pasal RKUHP ini jelas merampas seluruh hak masyarakat Indonesia dalam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Mengapa Pasal 411-412 tentang Perzinahan menuai kontroversi saat diatur dalam RKUHP?
Pada KUHP lama (pasal 284), perzinahan hanya diatur dan dijatuhi pidana kepada mereka yang melakukan perselingkuhan, dengan kata lain salah satu atau kedua dari mereka harus menikah atau terlibat perkawinan dengan orang lain. Sedangkan, dalam RKUHP menyebutkan :
- Pasal 411 ayat (1) "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II". Adapun yang dimaksud dalam perzinaan pada pasal ini adalah segala sesuatu hubungan seksual yang dilakukan selain orang yang sudah terikat dalam pernikahan kecuali perselingkuhan.
- Pasal 412 ayat (1) "Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II". Pasal ini mengatur mengenai perihal Kohabitasi atau biasa disebut dengan 'kumpul kebo'.
- Pasal 413 "Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga batihnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Pasal ini mengatur perilaku Inses atau hubungan sedarah.
Secara regulasi, pengaturan mengenai perihal perzinahan dalam RKUHP sebenarnya adalah langkah yang bagus untuk mengantisipasi tingkah kejahatan seksual dan mengatur moral bahkan tingkah laku masyarakat Indonesia. Sebagai masyarakat yang tinggal di negara yang menjunjung tinggi nilai agama, pengaturan mengenai perzinahan dalam KUHP adalah salah satu solusi yang dapat ditawarkan pemerintah dalam menangani permasalahan yang ada. Permasalahan yang dimaksud diantaranya angka perkawinan anak dibawah umur yang tinggi, tingkat kejahatan kekerasan seksual, aborsi, bahkan antisipasi pencegahan Penyakit Menular Seks (PMS). Meskipun perzinahan diatur dalam RKUHP dinilai bagus dan didukung oleh sebagian masyarakat, pada kenyataannya banyak sekali masyarakat yang memprotes dan menilai bahwa pasal ini tidak sesuai dengan kaidah-kaidah peraturan yang berlaku.
Klausul dan frasa yang digunakan dalam pasal tersebut, khususnya pada pasal 411-412, sangat berpotensi memunculkan tindakan persekusi dan penyalahgunaan wewenang. Perzinahan hanya dapat dilaporkan oleh orang tua, wali, atau orang yang bersangkutan dalam delik laporan. Hal ini dianggap percuma dan perbuatan yang sia-sia karena perzinahan atau saat melakukan hubungan seksual dilakukan secara rahasia dan hanya yang melakukan tindakan tersebut yang mengetahuinya. Terlepas dari hal tersebut, yang paling penting dari pengaturan pasal ini bahwa pasal tersebut dapat melanggar hak atas privasi yang dengan jelas dilindungi dalam hukum HAM Internasional. Pemidanaan terhadap kumpul kebo atau kohabitasi yang dilakukan dua orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan adalah bentuk serangan langsung dan pelanggaran terhadap privasi. Ditambah lagi untuk beberapa kawasan atau daerah di Indonesia yang kerap menjadi tempat yang sering terdapat kasus pelanggaran asusila oleh turis atau Warga Negara Asing (WNA) tidak dapat menerapkan RKUHP ini secara maksimal karena ketidakpastian hukum yang mengatur apakah negara asing akan dikenakan sanksi yang serupa dengan Warga Negara Indonesia (WNI). Oleh karena itu, pengesahan pasal perzinahan dalam RKUHP ini hendaknya dipertimbangkan lagi, karena dinilai tidak memenuhi kaidah-kaidah untuk dijadikan Undang-Undang.
Demikian penjelasan mengenai Pasal 218-219 yang mengatur tentang Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden dan Pasal 411-413 tentang Perzinahan dianggap kontroversial. Sebagai mahasiswa hukum, tentunya kita tahu dalam pembuatan atau perancangan perundang-undangan tidaklah mudah, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam perumusan dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku seperti dalam teori logemann sampai akhirnya pengesahannya demi mencapai tujuan utama yaitu pembaharuan hukum.
Kesimpulannya, Pembaharuan hukum pidana pada pokoknya merupakan suatu usaha untuk melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum sesuai dengan nilai-nilai umum sosio-politik, sosio- filosofik, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia. Dalam pembaharuan hukum pidana, setidaknya ada dua tujuan yaitu internal dan eksternal. Internal disini yaitu pembaharuan hukum pidana yang dilakukan sebagai sarana untuk perlindungan dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia, sedangkan untuk tujuan eksternal yaitu untuk turut ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia sehubungan dengan perkembangan kejahatan Internasional. Bentuk-bentuk perlindungan masyarakat dengan penegakan dan pembaharuan hukum dalam pidana yang dilaksanakan tujuan:
- tujuan pemidanaan adalah mencegah dan menanggulangi kejahatan.
- tujuan memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah tingkah lakunya supaya kembali patuh pada hukum dan menjadi masyarakat yang baik serta berguna.
- tujuan pidana untuk mencegah terjadinya perlakuan semena-mena diluar hukum.
Komentar
Posting Komentar