Pengadaan Pasal Mengenai Hukuman Pidana Terhadap HAM Berat dalam KUHP
Kajian oleh : LP2DH
Setiap manusia
pasti mempunyai hak-hak dasar dalam kehidupannya, yang mana hak-hak dasar itu
sudah ada sejak manusia itu lahir dan diakui secara universal. Hak-hak dasar
tersebut dikenal dengan nama Hak Asas Manusia (HAM). Dengan adanya HAM, maka
setiap manusia mempunyai perlindungan secara moral dan hukum, sehingga manusia
bisa terlindungi dari berbagai macam tindak kekerasan, perampasan,
penganiayaan, dan sebagainya.
Manusia yang
terlindungi dari berbagai macam hal yang bisa merugikan dirinya (perampasan,
penganiayaan, dan lain-lain) akan membuat kehidupannya menjadi lebih bebas dan
tak merasa ada tekanan. Dengan kata lain, manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa akan memiliki kehidupan yang lebih layak karena adanya HAM yang
dilindungi oleh pemerintah.
Indonesia telah
merdeka selama 77 tahun, lantas apakah Indonesia sudah dapat memberikan
perlindungan HAM atas masyarakatnya?. Setelah kemerdekaan masih banyak terjadi
pelanggaran HAM dari yang ringan sampai yang berat. Namun, hanya pelanggaran
HAM berat menjadi fokus pembahasan. Pasalnya, pelanggaran HAM berat seperti
G30S/PKI, tragedi pembunuhan masal 1965, Peristiwa Tanjung Priok, Trisakti,
Tragedi Semanggi 1 dan 2, Tragedi Timor Timor, dan tragedi pelanggaran berat
atas HAM lainnya. Mengingat dari banyaknya tragedi tersebut Indonesia belum
sepenuhnya merdeka dan belum mampu memberikan perlindungan atas pelanggaran HAM
berat.
Kita tidak dapat
memberantas pelanggaran HAM berat di Indonesia tanpa ada landasan yang kokoh,
substansi dalam pelanggaran Ham berat ini sebenarnya baru saja disahkan pada 05
Januari 2023 lalu oleh DPR dan Presiden, tepatnya pasal 600 KUHP. Pasal 600
KUHP baru tersebut memiliki rumusan masalah mengenai pelanggaran HAM berat
seperti Genosida atau pemusnahan suatu golongan atau etnik yang bunyinya
“Setiap orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atas
sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, agama atau kepercayaan dengan cara
membunuh anggota kelompok mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat
terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang
diperuntukkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh maupun
sebagian, memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran atau
memindahkan secara paksa anak kelompok ke kelompok lain dipidana dengan pidana
mati, atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan
paling lama 20 tahun penjara”.
Sebelum
disahkannya pasal ini sebelumnya kita memiliki UU khusus yaitu UU No. 26 tahun
2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM berat kejahatan genosida dan
kejahatan kemanusiaan yang lainya yang didalam-Nya terjadi perbedaan hukuman
antara pasal 600 KUHP dan UU No. 26 tahun 2000. Yang
mana, masa hukuman keduanya terdapat perbedaan dimana dalam KUHP ini, masa
penahanannya lebih singkat/ lebih ringan dari UU Nomor 26 Tahun 2000. Hal
inilah yang mendasari orasi-orasi para masyarakat terutama mahasiswa yang
mempertanyakan apakah pasal ini masih layak dipertahankan dan mempunyai urgensi
padahal kita sudah mempunyai UU sebelumnya?. Saat masuk ke KUHP maka
menghilangkan sifat kekhususannya. Jika ditelaah ada implementatif di
lapangan mengapa para pembuat kebijakan menurunkan masa penahanan yang awalnya
min 10 tahun menjadi min. 5 tahun. Hal ini dikarenakan banyak putusan hakim
yang tidak sesuai dengan UU No 26 Tahun 2000 ini Misalnya pada Tragedi Tanjung
Priok dan Timor Timor saat itu belum ada pasal KUHP namun diberlakukan UU No 26
TAHUN 2000 dimana kalau sesuai UU tersebut masa penahanan adalah minimal 10
tahun namun pada dua kasus tersebut dijatuhi selama 3 tahun saja. Hal ini
sangat terlihat adanya kesenjangan dalam masa penahanan yang dihadirkan. Para
pemangku kebijakan melihat ketidak adanya keefektifitasan/ kepastian hukum dari
UU No 26 tahun 2000 terhadap putusan hakim dan implementatifnya di lapangan.
Oleh sebab itu bisa jadi apa yang dilakukan para pemangku kebijakan bukan
merupakan penyusutan tapi untuk menciptakan lagi kepastian hukum.
UU No. 26 tahun
2000 belum memenuhi efektivitasnya, hal ini dapat dibuktikan dari
efektivitasnya yang masih dipertanyakan. Hal ini dibuktikan dari 15 kasus
pelanggaran HAM berat yang sudah diselidiki baru 3 kasus yang bisa diselesaikan
dan kasus lainnya masih terhambat di penyelidikan. Ketika kasus itu belum
selesai dan kita sendiri berpayung hukum pada UU tentang pengadilan HAM dan
pengadilan HAM sendiri adalah pengadilan khusus, dan ketika kita mendapatkan
pasal terbaru mungkin saja itu adalah hal yang bisa menjadi jawaban. Dalam KUHP
terjadinya penyusutan hukuman pidana namun secara garis besar saya menarik 1
garis besar kenapa pembuat kebijakan ini menurunkan minimal hukuman. Karena
banyak sekali putusan hakim yang jauh dari hukuman pada UU No. 26 Tahun 2000
yang membuat kesenjangan, terlebih pada korbannya.
Bagaimana
keadilan bagi korban? bayangkan jika kita memasukkan pasal ini dalam KUHP
dengan Asas retroaktif ini hingga nantinya jika pasal ini disahkan kasus
sebelumnya akan di tiadakan atau susah untuk di angkat kembali. Dengan adanya
pengesahan KUHP baru tentunya memunculkan pertimbangan dimasyarakat. Berkenaan
dengan pasal HAM, dalam KUHP termuat tentang pengadilan HAM, dan dalam pasal
terbaru hukuman berbeda dengan UU No. 26 tahun 2000, bagaimana hal tersebut
apakah akan mengurangi efek jera bagi pelakunya.
Sebenarnya KUHP
hanya digunakan masa pidananya saja sedangkan untuk penyelidikan dan proses
lainnya masih mengacu pada UU No. 26 Tahun 2000 sejauh ini tidak masalah.
Tetapi harus ada payung hukum untuk melindungi korban apalagi masa daluwarsa
ini ada. Atau masa daluwarsa ini diperpanjang karena artinya kasus yang terjadi
pada masa lalu yang sudah lebih dari 20 tahun tidak dapat diadili lagi.
Melihat KUHP baru disahkan tentunya
sangat memungkinkan akan adanya peraturan turunan/ pelaksana dari UU ini
tersendiri seperti peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden.
Yang menjadi
kelemahan adalah unsur-unsur tindak pidananya. Mengapa ada daluwarsa agar
aparat mempunyai tenggat waktu dan melanjutkan kasus lain. Masa daluwarsa sangat
diperlukan. Terlebih, jika dilihat dari awal diskusi dan sampai akhir diskusi
yang dapat kita sepakati adalah kita semua menolak dengan substansi pidana
hukum berat pada KUHP dalam proseduralnya karena belum sejelas UU No. 26 Tahun
2000, dan saat ini kita menunggu UU turunan, dan untuk masa pidananya itu bukan
pengedrilan masa pidana tapi agar implementasi di lapangan tidak terlalu jauh
dengan peraturan yang ada.
Komentar
Posting Komentar