Keharusan Pemberitahuan Aksi Demonstrasi Pasal 256 KUHP

 Kajian oleh : LP2DH

 Demonstrasi atau yang biasa disingkat dengan istilah ‘demo’ adalah suatu aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok orang di depan umum untuk menyampaikan aspirasi atau pendapat secara lisan maupun tulisan sebagai upaya penekanan maupun penolakan terhadap suatu kebijakan politik pemerintahan untuk kepentingan kelompok atau kehidupan bermasyarakat. Sebagai negara demokrasi, aksi unjuk rasa atau demonstrasi sangat mudah terjadi di Indonesia. Abraham Lincoln menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demonstrasi dapat dikatakan sebagai wujud kepedulian masyarakat terhadap pemerintahan negara, dengan menyampaikan aspirasi kuat untuk memaksa pemerintahan berjalan sesuai dengan kehendak dan kemampuan rakyat. Dengan kata lain, negara demokrasi memberikan kebebasan aspirasi, berekspresi, dan berpendapat kepada rakyatnya.

  Dalam KUHP baru, aksi demonstrasi ini diatur dalam pasal 256 KUHP yang berbunyi, “Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”. Dalam pasal ini tertulis jelas bahwa aksi demonstrasi akan menjadi sesuatu tindak pidana apabila tidak melakukan pemberitahuan terlebih dahulu dalam pelaksanaannya. Namun, yang membedakan pasal ini dengan pasal dalam KUHP sebelumnya (WVS) adalah sanksi yang didapat atau diberikan kepada pelaku demonstrasi atau demonstran, yaitu pemberian sanksi hukum penjara dan denda yang sebelumnya hanya sanksi pembubaran saja.

 Secara substansi, pasal ini dinilai sudah baik dan tidak perlu di revisi, penghapusan, apalagi pencabutan. Namun, hal yang berkaitan dengan pasal ini secara eksplisit menimbulkan pro dan kontra dalam pengimplementasiannya karena pasal 256 KUHP ini bersifat kumulatif. Kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi tidak dipermasalahkan, tetapi bisa menjadi kriminalisasi bagi masyarakat yang mengungkapkan pendapat di muka umum. Hal ini karena dalam pasal harus mengatakan pemberitahuan terlebih dahulu, pemberitahuan dalam pasal ini hanya sekedar pemberitahuan secara tertulis kepada Polri yang dilakukan oleh yang bersangkutan pemimpin atau ketua kelompok. Pemberitahuan sebelum memulai demonstrasi ini dianggap penting, agar aksi demonstrasi dapat terkendali sehingga kepentingan masyarakat umum seperti mobilisasi dan fasilitas umum dapat diantisipasi pada saat demo terjadi. Pemberitahuan dalam demonstrasi sangat penting agar aksi demonstrasi yang akan dilaksanakan berjalan dengan baik, lancar dan tidak menimbulkan kericuhan. Jika rencana demonstrasi sudah diberitahukan kepada pihak berwajib agar adanya penjagaan pada saat demonstrasi berlangsung. Terkadang kelompok demonstrasi memilih jalan beragam agar mendapat perhatian dari para pemangku kebijakan. Seperti melakukan blokade jalan, tak kadang juga sampai mengganggu kenyamanan publik, terganggu pemanfaatan fasilitas publik. Justru dengan adanya pasal ini dapat dijadikan legitimasi yang bisa menjerat demonstran lewat hukum pidana. Pasal ini mesti dibaca secara keseluruhan. Semangat dalam RKUHP bukan semangat intuitif. Karena RKUHP ini dilandaskan dengan semangat restorative.

 Meskipun aksi ini merupakan hak yang dijamin konstitusi dan UU. Namun ada demonstrasi yang berpotensi merugikan masyarakat lain. Apabila dibandingkan dengan ketentuan serupa dalam pasal 510 KUHP pengaturan pasal 256 KUHP baru ini disertai alternatif sanksi berupa denda sehingga tidak selalu pelakunya harus dipenjara bahkan pengenaan saksi pidana denda tersebut juga disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pelaku sebagai keunggulan KUHP sebagai hukum pidana modern. Pasal 256 KUHP ini bukanlah izin untuk demonstrasi melainkan agar rencana demonstrasi atau aksi unjuk rasa ini diberitahukan lebih dahulu pada pihak berwajib jika sudah dilakukan pemberitahuan kepada pihak berwajib sekalipun akibat terganggunya ketertiban umum, ataupun keonaran, para aksi unjuk raksa tidak akan dikenakan pidana. Karena selain hak demonstran yang harus dijaga ada hak lain yang perlu dijaga seperti hak masyarakat umum. Selain itu, juga dapat melindungi hak masyarakat umum, pasal 256 KUHP ini secara filosofis paradigma pemberitahuan ditunjukkan agar aksi atau demonstrasi berlangsung dengan lancar dan dijaga oleh kepolisian. Bukan sebaliknya pemberitahuan belakangan ini dijadikan mekanisme formal untuk membatasi demonstrasi. Pasal ini untuk menjaga agar para aksi demonstrasi tidak berbuat onar dan merusak fasilitas umum. Kendati demikian, pasal ini tidak sepenuhnya dapat diterima dan disetujui oleh masyarakat karena memuat kemunduran pada demokrasi.  

 Indonesia adalah negara demokrasi yang didasarkan pada pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan: "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Tujuan demokrasi yaitu memberikan kebebasan untuk memberikan pendapat  dan menyuarakan aspirasi. Sementara pada pasal 256 ini menunjukkan adanya potensi membatasi kebebasan berpendapat sebagai jalannya demokrasi. Pasal 256 juga bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Maksud dari pasal tersebut adalah setiap warga negara memiliku hak untuk berpendapat dan berekspresi dengan bebas. Sementara, dengan adanya pasal 256 ini menunjukkan adanya pembatasan dalam kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, pasal 256 ini bertentangan dengan pasal 28e ayat 3 UUD 1945  yang merupakan sumber hukum tertinggi. Dan pasal 256 ini juga bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Yang merupakan jaminan konstitusional dalam aksi unjuk rasa, demonstrasi, berorasi, dan semacamnya adalah hak setiap warga Indonesia. Pasal 256 ini terlihat membatasi aksi demonstrasi sehingga bertentangan dengan UU No. 9 Tahun 1998.  

 Selain itu, juga terjadi kekeliruan pidana dalam penerapan hukum pidana. Hukum pidana seharusnya sebagai jalan terakhir seharusnya terimplementasi terlebih dalam merespons ekspresi dalam aksi demonstrasi. Sebelumnya, rezim pengaturan semacam ini berwatak administratif sebagaimana yang tercantum dalam  UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Produk hukum ini hadir guna menjamin kebebasan berekspresi dalam berbagai bentuk. Apabila terjadi pelanggaran pada aksi demonstrasi  atau cara penyampaian pendapat lainnya langkah yang diambil pun bersifat administratif saja seperti dalam pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998 sanksi yang diterima apabila tidak memenuhi kriteria maka akan dibubarkan. Dalam produk hukum ini pula ketentuan pidana justru ditunjukkan pada orang menghalang-halangi aksi pada saat penyampaian pendapat. Sebagaimana diatur dalam pasal 18. Pasal 256 ini ditunjukkan aksi agar berjalan dengan lancar dan dijaga oleh kepolisian bukan sebaliknya pemberitahuan justru dijadikan mekanisme yang kerap kali membatasi untuk berekspresi.  

 Kesimpulannya, pasal ini adalah salah satu dari perwujudan penyelenggaraan negara secara pasif yang memberikan perlindungan dan keamanan terhadap demonstran agar tercapainya tujuan demonstrasi. Pasal ini secara substansi sudah benar dan memenuhi rumusan tindak pidana, namun untuk unsur pemberitahuan harusnya diperjelas lagi dalam pasal ini atau undang-undang lain mengenai prosedur yang akan ditempuh secara lengkap dan jelas apabila demonstran ingin menyelenggarakan demonstrasi dalam ruang lingkup umum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Sistem Electronic Voting dalam Pemilu 2024

Revisi Aturan Masa Tenang Sebelum Hari Pemungutan Suara untuk Mencegah Kampanye Bawah Tangan yang Mengganggu Independensi Pemilih

“Saya Hanya Mengikuti Perintah Atasan” Adalah Pembelaan Yang Dibenarkan Jika Bawahan Melakukan Kesalahan Dalam Militer