Penghapusan Pasal 27 dan 28 Tentang Pencemaran Nama baik dan Penghinaan dalam UU ITE
Kajian oleh : Divisi Penulisan LP2DH
Manusia adalah makhluk sosial
yang dalam menjalankan kehidupan selalu berkesinambungan dengan manusia lain.
Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles, zoon
politicon yang berarti bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat
dan berinteraksi dengan manusia lain. Seiring perubahan zaman dan kemajuan
teknologi yang menyertainya, interaksi manusia dalam kehidupan bermasyarakat
juga terkena dampak dan pengaruh dalam penyelenggaraannya. Berkat kemajuan
teknologi dan perkembangan zaman, interaksi manusia yang sebelumnya hanya dapat
dilakukan dengan cara harus berjumpa dengan bertatap muka secara langsung,
sekarang sudah bisa dilakukan tanpa harus bertemu secara langsung dengan
perantara handphone atau laptop. Dengan demikian, kemajuan
teknologi sangat mempermudah cara interaksi manusia tanpa mengenal ruang dan
waktu.
Namun seperti kata pepatah ‘tak ada gading yang tak retak’,
walaupun banyak dampak positif dalam sosial media yang memperlancar interaksi
manusia, tak ayal bahwa banyak pula dampak negatif yang melahirkan sebuah
permasalahan yang memicu konflik dan polemik dalam berinteraksi di sosial
media. Salah satu permasalahan tersebut adalah pencemaran nama baik atau
penghinaan kepada orang lain dalam sosial media.
Secara regulasi, di
Indonesia sudah cukup tegas dalam menanggapi permasalahan ini. Kasus penghinaan
atau pencemaran nama baik sudah bukan menjadi hal yang asing lagi bagi kita,
pasalnya pengaturan perihal penghinaan atau pencemaran nama baik ini sudah
diatur dalam 310 KUHP yang menerangkan bahwa perbuatan yang dilarang adalah
perbuatan yang dilakukan “dengan sengaja” untuk melanggar kehormatan atau
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan memenuhi unsur-unsur
yaitu dengan sengaja, menyerang kehormatan atau nama baik, menuduh melakukan
suatu perbuatan, dan menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum. Apabila
unsur-unsur penghinaan atau Pencemaran Nama Baik ini hanya diucapkan secara
lisan, maka perbuatan itu tergolong dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Namun,
apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan surat atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan dengan media-media tertentu, maka pelaku dapat
dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310 ayat (2) KUHP. Kendati demikian,
tidak semua perbuatan yang dinilai penghinaan dan pencemaran nama baik dapat
dikenakan hukuman apabila dalam penyampaian informasi itu ditunjukkan untuk
kepentingan umum dan tidak personal, untuk membela diri, dan mengungkapkan
kebenaran. Namun, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa kemajuan teknologi mempengaruhi
interaksi manusia, apakah Penghinaan dan
Pencemaran Nama Baik yang terjadi dalam ruang lingkup interaksi sosial media
sudah mendapatkan kepastian atas regulasinya di Indonesia?
Pengaturan mengenai
perilaku dalam ruang lingkup penggunaan elektronik seperti sosial media dan
internet ini sudah diatur secara khusus dalam UU No. 19 tahun 2016 tentang
perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik atau
yang biasa disebut dengan UU ITE. Dalam UU ITE, Penghinaan dan Pencemaran Nama
Baik ini terdapat 19 bentuk tindak pidana sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 27 sampai 37. Satu diantaranya merupakan tindak pidana penghinaan khusus,
dimuat dalam Pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa “setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen yang memiliki
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Selain itu juga diatur dalam
Pasal 28 pada ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa
hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA)”. Sesuai dengan penjelasannya,
Tindak pidana penghinaan khusus dalam Pasal 27 ayat (3) jika dijabarkan secara
rinci, maka terdapat unsur objektif sebagai berikut :
1.
Perbuatan: a. mendistribusikan; b. mentransmisikan; c.
membuat dapat diaksesnya.
2.
Melawan hukum: tanpa hak; serta
3.
Objeknya: a. Informasi elektronik dan/atau; b. dokumen
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 27 dan 28 UU ITE ini memberikan kepastian hukum pada
kasus Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik. Dengan adanya pasal ini, dapat
disimpulkan bahwa Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik yang terjadi dalam ruang
lingkup offline maupun online dapat dikenakan sanksi sesuai
dengan isi dan unsur pasal tersebut. Pasal ini sudah baik dan dampak positif
yang dapat dirasakan didunia maya maupun di dunia nyata. Kendati demikian, Pro
dan Kontra dalam pasal ini tentu saja banyak sekali, ada yang mengusulkan untuk
dihapuskan saja karena melanggar HAM untuk kebebasan berekspresi dan pasal ini
dinilai multitafsir. Bagaimana kita
menanggapi hal ini apabila pasal-pasal tersebut dihapuskan karena dinilai
melanggar HAM untuk kebebasan berekspresi dan multitafsir?
Jelas, tidak setuju
dengan kata penghapusan karena pasal ini memiliki lebih banyak dampak positif
daripada dampak negatifnya. Pasal penting yang membawa dampak positif
diantaranya pasal 27 ayat 1 yang mengatur tentang kesusilaan, ayat 2 tentang
perjudian dan 3 tentang pencemaran nama baik, ayat 4 tentang pemerasan dan
pengancaman. Dalam pasal 28 ayat 1 juga mengatur tentang berita bohong atau
hoax yang merugikan konsumen, ayat 2 tentang ujaran kebencian yang menimbulkan
rasa kebencian. Dengan adanya pasal ini, tentu saja membuat masyarakat tidak
berbuat semena-mena dalam berkomentar atau berpendapat tentang orang lain
dengan tetap memperhatikan perasaan orang lain. Selain itu, apabila penghapusan
pasal ini dilatarbelakangi dengan dalih diskriminasi HAM, tentu saja
bertentangan. Mengapa demikian? Karena dibalik tujuan dari pembuatan pasal ini
adalah untuk mendapatkan perlindungan atas nama baik dan martabat. Hal ini
sesuai dengan pasal 69 ayat 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM (2) Setiap hak
asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk
menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah
untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya. Artinya dengan
adanya kebebasan ini bukan berarti
membatasi kebebasan seseorang dalam memberikan kritik. Negara memang
membebaskan seseorang untuk berpendapat tapi bukan berarti memberikan kebebasan
yang sebebasbebasnya. Dengan adanya pasal ini dapat memberikan batasan karena
apabila tidak dibatasi para pemangku kekuasaan akan menimbulkan super Power
bagi mereka yang dapat mendiskriminasi orang lainnya. Dan apabila dilihat dari
sanksi yang didapat, dalam undangundang ini juga memberikan sanksi yang cukup
berat ketimbang KUHP sehingga menimbulkan efek jera.
Kesimpulannya, pengaturan perihal penghinaan dan pencemaran nama baik di Indonesia sudah cukup tegas diatur baik dalam KUHP maupun UU ITE, namun hal yang menjadi sorotan dalam pasalpasal tersebut adalah kemultitafsirannya yang dinilai dapat menimbulkan persepsi yang beragam baik positif maupun negatif yang berakibat pada ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, sebaiknya untuk pasal-pasal yang dinilai multitafsir baik dalam kalimat maupun penggunaan katanya, lebih baik dirubah atau direvisi saja dan tidak perlu dicabut apalagi dihapus. Karena apabila pasal ini malah dihapus, justru akan menimbulkan kekosongan hukum terhadap Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Terutama pasal dalam UU ITE yang perlu direvisi yaitu kualifikasi dari unsur-unsur pencemaran nama baik karena dalam UU ITE ini tidak ada unsur unsurnya. Seperti dalam pasal 310 KUHP ada mengandung unsur-unsurnya pencemaran nama baik yaitu dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik, menuduh melakukan suatu perbuatan atau menyiarkan tuduhan supaya diketahui umum sedangkan dalam UU ITE ini tidak ada unsur-unsur pembatasannya. Jadi hal tersebutlah yang dapat menimbulkan multitafsir.
Komentar
Posting Komentar