Aksi Damai 4 November 2016
Aksi Damai 4 November 2016
Jakarta memang selalu ramai, dengan hiruk pikuk dan
hingar bingar nya yang seolah tak pernah mati, kota metropolitan tempat seluruh
aspirasi rakyat berkumpul dan birokrasi berjalan selalu menawarkan
kejadian-kejadian menarik sehari-harinya. Namun, apa yang terjadi pada tanggal
4 November lalu patut menjadi sorotan tidak hanya di pulau Jawa, namun juga ke
tanah Banua. Isu adanya penistaan agama oleh salah satu pejabat publik yang
sejak lama kehadirannya telah menuai kontroversi, menjadi pemicu umat muslim di
Indonesia, bersama-sama turun kejalan dalam sebuah gerakan yang di gaung kan
sebagai "aksi damai".
Organisasi Masyarakat bernama Front Pembela Islam menjadi
pemrakarsa berjalannya aksi tersebut. Dengan atribut serba putih, puluhan ribu orang turun ke jalan, Jumat pekan lalu,
menuntut Ahok dipenjara karena dituduh menistakan agama --sebuah
tuduhan yang masih diselidiki oleh kepolisian--.
Gubernur Jakarta itu diperiksa hari ini di Mabes Polri terkait dugaan penistaan
tersebut. Aksi
yang dilaksanakan serentak dihampir tiap kota di provinsi tersebut, konon
adalah aksi damai, namun tetap berujung pada kericuhan. Provokator-provokator
tak bertanggung jawab yang diberi upah nasi bungkus bermunculan dipenghujung
aksi, menimbulkan bentrok dengan pihak aparat keamanan. Keresahan beberapa
warga keturunan Tionghoa sempat mencuat kepermukaan tatkala isu-isu simpang
siur yang meresahkan mengenai terulang nya kembali tragedi Mei 1998 sempat
berhembus. Namun, puji syukur, karena hal semacam itu tidak sampai terulang.
Kendati demikian, tetap saja apa yang telah terjadi pada awal November kemarin
bukanlah hal remeh yang dapat kita samakan dengan aksi-aksi yang sebelumnya.
Sebuah catatan sejarah telah tergores di lembar peradaban manusia, bahwa
Indonesia sempat bergejolak kala itu dan seperti yang sudah-sudah, selalu
muncul dua kubu yang memperdebatkan faedah dari fenomena aksi damai 4 November
yang katanya adalah aksi damai namun tetap menimbulkan kericuhan.
Adalah sekelompok masyarakat yang pro terhadap aksi
tersebut, yang berdalih bahwasannya perlunya ke perdulian masyarakat dalam
mendesak pemerintahan dengan demo atau gerakan aksi bukanlah suatu langkah
anarki, melainkan bentuk peng-ekspresian atas keperdulian rakyat. Dan sejalan
dengan prinsip demokrasi yang dianut Negri tercinta, dimana setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka
umum yang dijamin dalam Pasal 28E UUD 1945 serta sejumlah peraturan
perundang-undangan lainnya seperti UU No. 9 tahun 1998 dan Peraturan Kapolri nomor
9 tahun 2008. Indonesia pernah melewati masa-masa suram dimana pemerintahan
tidak transparan dan terbatasnya hak-hak rakyat untuk menyatakan pendapat,
sehingga pasca reformasi merupakan suatu momentum bagi rakyat untuk turut serta
berkonstribusi dalam pemerintahan yang lebih baik. Kaum-kaum aktivis mengamini,
bahwasannya dengan kebebasan berpendapat yang dipayungi oleh UU No. 9 tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, pemerintahan yang
tirani tidak akan terulang lagi di Indonesia.
Dengan alibi
terkait apa yang sempat mengguncang Indonesia pada masa orde baru menjadi
alasan penguat mengapa kita harus turun ke jalan, meluruskan kembali arah
birokrasi yang menyimpang. Bahkan maestro kita yang terkenal dengan kritikannya
lewat lagu, Iwan Fals pernah menyinggung dalam sebuah bait lagunya yang
berjudul "Bongkar" ;
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Sebuah lagu yang sarat akan kritikan dan pesan moral
kepada pemerintahan, meski beberapa liriknya yang keras. Namun justru itulah
yang menggambarkan apa yang sejatinya dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Tentu
saja, demo bukan hanya sekedar kegiatan hingar bingar membuat rusuh, seperti
yang telah disinggung diawal.
Adapun berkenaan dengan aksi damai yang berlangsung 4
November kemarin, sama sekali tidak menyimpangi nilai-nilai konstitusi. Para
demonstran dan aktivis telah memenuhi tata cara penyelenggaraan menyampaikan
pendapat yang diatur dalam Peraturan Kapolri No. 9 tahun 2008 dengan tidak
memicu kerusuhan apapun. Meski media sempat menyoroti perbuatan-perbuatan yang
ditengarai mem provokasi bentrokan, namun pihak demonstran menjamin bahwa
oknum-oknum tersebut bukanlah berasal dari anggota yang terlibat dalam aksi damai.
Sayang, stigma buruk dari demo terlanjur menyebar di masyarakat. Padahal, dari
banyak nya isu yang beredar, sebagian besar hanyalah isapan jempol yang sengaja
di sebar untuk memperburuk citra aksi damai 4 november lalu. Ada beberapa poin
klarifikasi, bahwasannya kegiatan tersebut hanyalah fitnah semata.
Pertama, kesaksian pengguna Facebook, Azzam Mujahid, yang dalam
akunnya menulis bahwa wartawan Kompas TV
Muhammad Guntur adalah 'provokator kericuhan yang sebelumnya ditangkap karena
melempar botol minuman dari arah demonstran ke petugas keamanan. Tulisnya, membuat banyak orang terpicu amarah dan mencap Kompas TV sebagai media yang 'benci Islam. Tetapi, kejadian sesungguhnya tidak demikian. Mutiara
Ramadhini, rekan Muhammad Guntur dalam Facebooknya menulis alur
kejadiannya. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Din Syamsuddin kemudian mengeluarkan pernyataan kepada sejumlah
media dan menegaskan bahwa Muhammad Guntur adalah wartawan yang dia kenal dan
bukan provokator.
Azzam Mujahid dalam akun Facebook-nya kemudian meminta
maaf atas unggahannya, walau sebagian pengguna media sosial beranggapan hal itu
sudah terlambat karena 'kebencian telah terlanjur tersebar.'
Kedua, terkait dengan
pelaku rusuh di penjaringan, yang sempat dituduhkan kepada para pihak yang
terlibat dalam aksi damai, nyatanya murni adalah perbuatan kriminal dan bukan
perbuatan seorang pun dari orang-orang yang terlibat dalam aksi damai. Kepala biro penerangan masyarakat Polri, Agus Rianto,
kepada BBC Indonesia menegaskan bahwa kerusuhan dan penjarahan yang terjadi di
Penjaringan, Jakarta Utara "merupakan kriminal murni dan memanfaatkan
situasi yang ada". Sebanyak 15 orang ditangkap
di lokasi, dan satu lainnya ditangkap berdasarkan hasil pengembangan
penyelidikan. Beberapa
orang dinyatakan masih buron. Ada kemungkinan aksi rusuh yang
dilakukan warga di Penjaringan ini dilakukan karena provokasi pihak tertentu. Pernyataan ini sekaligus menepis kabar atau asumsi yang
banyak beredar di media sosial yang menyebut bahwa kerusuhan dilakukan oleh
peserta aksi unjuk rasa 4 November. Juga membantah kabar bohong yang menyatakan
bahwa pelaku rusuh Penjaringan adalah 'sejumlah warga keturunan Tionghoa yang
sengaja membuat ricuh untuk menjelekkan agama Islam'.
Memang, ada banyak keriuhan di media sosial terkait demonstrasi 4
November. Namun
jangan sampai hal itu menutupi fakta bahwa
aksi 4 November damai dan tertib, bahwa semua yang berlaku tidak tertib.
Sejumlah
foto yang menggambarkan 'kedamaian' menjadi viral di media sosial: polisi
membantu peserta aksi menuangkan air wudlu, peserta aksi mengoleskan odol ke
wajah polisi untuk menghalau perihnya gas air mata, peserta aksi berjibaku
memungut sampah, hingga foto polisi dan peserta aksi sama-sama salat di jalan.
Seorang bijak pernah
berkata, "Jangan melihat koin hanya dari satu sisi". Kehadiran para
demonstran tidak melulu hanya didasari sebungkus nasi bungkus dan keinginan
untuk membuat keonaran, atau memecah belah bangsa. Demo dan aksi-aksi lain nya
juga tidak serta merta adalah gerakan yang ditunggangi politik. Jangan lupa,
bahwa Soe Hok Gie juga pernah berkata, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah
pada kemunafikan". Kita sebagai rakyat yang perduli akan negaranya, sudah
seyogya nya turun ke jalan memperbaiki kembali jembatan yang bercabang guna
menyatukan tujuan yaitu untuk Indonesia yang lebih baik.
Tapi namanya juga
manusia. Jika ada yang pro, tentu juga ada yang kontra. Pun demikian dengan apa
yang terjadi dalam fenomena aksi damai 4 November lalu. Banyak respon negatif
dari masyarakat mengenai gerakan yang digadang-gadang merupakan aski dengan
massa terbanyak selama era reformasi, yang melibatkan tidak hanya umat Islam di
Jakarta namun juga di seluruh Indonesia. Kecemasan warga yang memilih untuk
tidak mengikuti demo bukan tanpa alasan. Pasalnya, selama ini kita telah
kenyang akan pemberitaan dan dampak buruk dari kegiatan mengutarakan pendapat
di muka umum mulai dari sekedar orasi, aksi damai, hingga demo. Banyaknya
mudharat yang ditimbulkan membuat khalayak merasakan teror yang luar biasa
dengan adanya demo. Bahkan meski itu di labeli "damai" sekalipun. Toh
tetap saja, aksi yang katanya damai, tetap menimbulkan kericuhan yang memicu
kerugian bagi daerah sekitarnya. Apalagi, Ketua Front Pembela Islam, Habib
Rizieq sebagai organisasi masyarakat dan juga Ulama ( katanya ) meiliki, mohon
maaf, track record yang kurang mengenakan bagi sebagian masyarakat modern. Cara
berfikir beliau yang ekstrim dan menggebu-gebu seringkali menimbulkan ketakutan
di mata awam tatkala membaca atau mendengar dakwah beliau yang sangat memerangi
kafir. Kekhawatiran-kekhawatiran berupa timbul nya perpecahan bangsa menjadi
alasan kuat menolak ajakan beliau dalam aksi demo 4 november mendatang.
Indonesia merupakan negara multikultural yang memegang teguh semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Jangan lupakan konstribusi para pahlawan bangsa yang berasal dari
beragam suku, ras dan agama. Mereka sama-sama berjuang untuk tanah yang satu.
Indonesia. Darah mereka tumpah untuk membela bangsa yang satu. Indonesia.
Indonesia dibangun oleh
keberagaman, bukan oleh suku, agama maupun ras tertentu. Dan sebagai negara
kesatuan yang berbentuk republik, mengutip kalimat fenomelan Alm. Gus Dur,
bahwa Islam datang ke nusantara bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi
budaya Arab. Jangan pula kita lupakan bahwa Indonesia bukan negara tapi negara
beragama. Ada enam agama yang di akui di Indonesia. Setiap orang bebas
beragama, sejalan dengan isi pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Gerakan aksi damai
berujung rusuh pada 4 November tersebut katanya dipicu oleh isu penistaan
agama, yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Kendati demikian,
sebagian besar masyarakat telah paham bahwa hal tersebut hanyalah alasan yang
dibuat-buat untuk menghalal-kan berlangsung nya aksi pekan lalu. Sejak awal,
banyak kaum-kaum ekstrimis yang menolak kepemimpinan Ahok sekalipun beliau
telah menyumbang banyak sekali kemajuan untuk Jakarta. Oknum-oknum yang dengan
dendam pribadi, memanfaatkan tipikal umat muslim yang (maaf) mudah
terprovokasi, mengambil kesempatan baik tersebut untuk ber demo menggulingkan
Ahok hanya karena beliau kebetulan bukan berasal dari agama yang sama. Hal ini
jelas menyimpangi konstitusi kita, bahwasannya dalam UU No 39 th 1999 tentang
HAM Pasal 43 mengatur mengenai hak-hak politik
warga negara, yaitu hak untuk menduduki jabatan publik.
Indonesia yang dalam
kondisi krisis kepemimpinan memerlukan pemimpin-pemimpin tangguh yang mampu
mensejahterahkan masyarakat, dan memiliki rasa nasionalisme. Indonesia adalah
kita. Memang benar kata Presiden pertama kita, bahwasannya perjuangan beliau
dan segenap pejuang yang telah mendahului lebih mudah karena melawan bangsa
asing. Sementara perjuangan kita adalah melawan bangsa kita sendiri. Toh jika
dicermati kembali, video yang memuat kalimat Ahok yang katanya menyulut emosi
umat muslim nyatanya adalah video editan yang mana terdapat pemotongan kalimat
di dalamnya. Sungguh hal yang amat sangat disayangkan, betapa mudah dan
rapuhnya bangsa ini sehingga dapat di permainkan dan di setir oleh kepentingan
politik seperti ini, sampai menimbulkan gerakan besar-besaran.
Andai tiap jiwa yang ada
di Indonesia mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi ancaman MEA atau
ancaman global lainnya dengan antusiasme yang sama ketika mereka ingin turun ke
jalan untuk berdemo, tentu bangsa ini akan kembali berjaya sebagai Macan Asia
yang aumannya sampai ke negeri sebrang.
Tindakan provokatif
macam demo yang berpotensi besar menimbulkan perpecahan harus diminimalisir.
Demo bukanlah solusi terbaik untuk menekan pemerintah guna memenuhi tuntutan
rakyat. Demo hanya jalan pintas bagi rakyat yang kebingungan dan malas,
menggunakan kekuatan massa untuk mewujudkan tuntutan namun menimbulkan masalah
yang besar di birokrasi yang mungkin tak nampak di mata masyarakat.
Sekali lagi, terlepas
dari konteks penistaan agama, melakukan gerakan berskala besar-besaran demi
kemajuan negara memang tidak salah. Tetapi harus dilihat dan disikapi dengan
bijak pula, apakah negri ini telah berada dalam kondisi yang begitu kritis dan
darurat sehingga kita harus turun ke jalan mendesak pemerintahan. Sebagai
bangsa yang dikenal dengan karakter ramahnya, jangan sampai kita mencoreng
warisan leluhur kita dengan melakukan tindakan anarki dalam aksi publik yang
kita lakukan. Mengawal Indonesia yang lebih baik, dan jadilah bangsa yang
beradab.
Komentar
Posting Komentar