Kapabilitas Negara Terkait Kasus Tindak Pelecehan Seksual Terhadap Penyandang Disabilitas

Oleh : Rofa’at Ru’yati 

      Kasus pelecehan seksual banyak dan lebih rentan terjadi pada para penyandang disabilitas. Menurut Direktur Eksekutif YAPESDI Indonesia Down Syndrome Care, Agus Hasan Hidayat, disabilitas mental atau intelektual lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Berdasarkan Data Sentral Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) Yogyakarta selama sepuluh tahun terakhir, sebanyak 59% dari total 140 kasus kekerasaan seksual terhadap perempuan disabilitas yang didampingi, hampir 40% kasus terjadi pada disabilitasintelektual. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dapat berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.  

        Lantas, dengan kondisi saksi maupun korban dan upaya pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam kasus berkaitan pidana terkhusus pelecehan seksual, apakah pada praktiknya negara dan instrumen di bawahnya telah benar-benar hadir dalam upaya pemenuhan hak tersebut secara ‘keseluruhan’ ? Salah satu kasus yang saya kutip dari icjr.or.id, kasus di Indonesia yang menimpa Bunga seorang siswi kelas 5 SD yang diperkosa oleh gurunya sendiri. Ketika mencoba untuk mencari keadilan atas kasus pemerkosaan yang dialaminya, ia ditolak oleh petugas kepolisian setempat karena laporannya dinilai terlambat dan bukti-bukti yang diajukan dinilai tidak kuat. Selain itu penolakan oleh kepolisian juga dikarenakan Bunga dianggap cacat sebab ia termasuk anak yang lambat belajar sehingga kesaksiannya tidak bisa dipercaya. Akhirnya kepolisian mengusulkan untuk melakukan tes DNA untuk membuktikan laporannya. Usulan ini tidak dapat dilaksanakan karena korban berasal dari keluarga yang tidak mampu. Kasus ini ditutup dengan uluran jalan damai dari pemerkosa. Dari kasus tersebut salah satu poin sederhana yang dapat kita sadari justru bukan perihal korban yang dalam hal ini sebagai subjek hukum tidak cakap hukum atas keterbatasan yang dimilikinya, melainkan aparat penegak hukum yang tidak memiliki kemampuan dalam menindaklanjuti keluhan korban, keterbatasan wawasan atas isuisu penyandang disabilitas menimbulkan kasus yang tidak tuntas atau bahkan tidak terpenuhinya hak korban. Dalam UU No.19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights of Persons With Disabilities telah termuat perihal kewajiban negara dan hak-hak penyandang disabilitas. Ini pun telah diperjelas dengan hadirnya UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Lalu, apa yang masih menjadi persoalan saat hak-hak mereka sudah tertuang dalam UU di atas ? Walau pemerintah telah mengupayakan sedemikian rupa melindungi hak penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana, namun, rupanya implementasi Peraturan Perundang-undangan yang ada mengalami kendala. Misal dalam kasus penanganan proses peradilan seringkali penyandang disabilitas justru dipersalahkan oleh aparat penegak hukum sebab keadaannya yang difabel, dalam perkara pidana difabel rungu wicara yang menjadi korban pemerkosaan sering disudutkan penegak hukum karena tidak berteriak ketika diperkosa, kemudian difabel netra tidak diproses oleh penegak hukum karena korban tidak bisa melihat pelaku pemerkosaan. Peraturan Perundang-undangan saat ini pun belum cukup untuk melindungi korban penyandang disabilitas dari tindak pidana asusila terkait perkosaan dan pencabulan. Contoh rekaan perkara : 

  1. Korban berusia 12 tahun mengalami pencabulan 
  2. Korban berusia 26 tahun menderita keterbelakangan mental atau down syndrome mengalami pencabulan serta perkosaan. 
        Dalam KUHP, tindak pidana perkosaan dan pencabulan harus memenuhi unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang”, sedangkan dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak pada Pasal perkosaan dan pasal pencabulan terhadap anak terdapat unsur yang bersifat alternatif yaitu: “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk.” Maka dari 2 perkara tersebut tentu yang sangat dirugikan adalah korban dewasa. Sedangkan kondisi korban adalah seorang yang berketerbelakangan mental, kondisi psikologisnya belum tentu masuk kategori dewasa, maka parameter ‘dewasa’ maupun anak-anak dengan menyamaratakan berdasar batas usia pada individu normal, bukanlah suatu bentuk keadilan. Jika kita menggunakan asas lex specialis derogate legi generalis, dalam penanganan penyandang disabilitas dengan ketentuan khusus yang termuat dalam UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Begitu urgen untuk ditangani problematika ini sebab ketika dimintai pernyataan kesaksian pun agak riskan jikalau kita beracuan begitu saja atas pernyataan korban, tentu butuh adanya pendampingan serta regulasi yang jelas terkhusus bagi penyandang disabilitas dalam berperkara. 
        Pemerintah dalam hal ini lembaga legislatif perlu merumuskan pengaturan terkait penyandang disabilitas pada aspek pidana yakni RUU KUHP dan KUHAP yang benarbenar berorientasi pada kepentingan serta kesejahteraan penyandang disabilitas hingga tidak ada lagi aturan yang berkontradiktif maka perlu dibuat konstruksi materi secara terkhusus mulai dari proses penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan dalam proses peradilan. Aturan-aturan yang juga lebih mengakomodir kebutuhan-kebutuhan penyandang disabilitas dalam proses peradilan secara menyeluruh. Semua ini pun perlu dibarengi dengan peningkatan pelayanan serta perlakuan yang adil dari aparat penegak hukum. Pemahaman dan pengetahuan aparat penegak hukum terkait isu penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Berbicara tentang tindak pelecehan seksual sama dengan masalah harga diri yang tidak bisa dinilai secara materil semua itu tidak akan memberikan pemulihan kehormatan dan harga diri seorang manusia. Maka dari itu, pidana dalam konteks ini sebagai ultimum remedium. Hak kemerdekaan seseorang telah direnggut sebab ia kesulitan dalam menyuarakan penolakan, kesulitan dalam mengartikan bentuk tindakan semena-mena orang lain, kesulitan mengutarakan kejadiaan dan perasaan yang sesungguhnya ia alami. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Sistem Electronic Voting dalam Pemilu 2024

Revisi Aturan Masa Tenang Sebelum Hari Pemungutan Suara untuk Mencegah Kampanye Bawah Tangan yang Mengganggu Independensi Pemilih

“Saya Hanya Mengikuti Perintah Atasan” Adalah Pembelaan Yang Dibenarkan Jika Bawahan Melakukan Kesalahan Dalam Militer