Hukum Lingkungan dan SDA Hantui Pembangunan Berkelanjutan di KALSEL
Karya : Eva Siagian
Hukum Lingkungan dan SDA Hantui Pembangunan Berkelanjutan di KALSEL
Indonesia merupakan salah satu negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dan tidak terhingga, hal tersebut telah diakui oleh banyak negara di dunia. Bahkan salah satu paru-paru dunia terletak di Indonesia yaitu pulau Kalimantan. Hutan tropis yang sangat khas, ragam pohon, tumbuhan, hewan, batu dan hasil tambang menjadi salah satu daya tarik bagi banyak perusahaan asing untuk menanamkan usaha modalnya di Tanah Borneo.
Salah satu provinsi di Kalimantan yang terkenal dengan hasil tambang dan keanekaragaman hayati dan flora serta fauna adalah Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan yang terletak pada bagian Tengah dari Indonesia sangat terkenal dengan sebutan Kota Seribu Sungai, Lahan Gambut yang begitu luas serta Satwa Langka yang patut dilindungi yaitu Bekantan.
Kalimantan Selatan (Kalsel) kini semakin gencar untuk melakukan pembangunan-pembangunan dalam berbagai bidang, dilihat dari Pembangunan yang terjadi saat ini merujuk pada Pembangunan berkelanjutan yang merupakan pembangunan dengan memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang. Ketika berbicara mengenai Pembangunan Berkelanjutan tentu kita harus mengerti tentang konsep Pembangunan Bekelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang dapat berlangsung secara terus menerus dan konsisten dengan menjaga kualitas hidup dengan tidak merusak lingkungan dan mempertimbangkan cadangan sumber daya yang ada untuk kebutuhan masa depan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penerapan pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan wilayah dan kota dilakukan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan seperti pemerataan pembangunan, penghematan energi, pelestarian ekologi atau lingkungan, pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada peningkatan performa, dan menyerap peran serta masyarakat dalam proses pembangunan secara maksimal.
Konsep pembangunan berkelanjutan saat ini semakin berhasil mempengaruhi perencanaan dan kebijakan publik di tingkat lokal, regional, negara, dan tingkat federal. Pembangunan berkelanjutan digunakan sebagai prinsip pengorganisasian visi dan rencana komprehensif di berbagai tingkat pemerintahan.
Dengan niatan untuk mensejahterakan rakyat dalam proses pembangunan berkelanjutan akhirnya pemerintah berfokus pada perekonomian dan menghalalkan segala cara untuk meningkatkan pendapatan daerah. Akibatnya menurut survey yang dilakukan oleh WALHI sebanyak 50% wilayah Kalsel hilang dan digantikan pertambangan batu bara dan perkebunan sawit dari 3,75 juta hektare wilayah Kalsel, sebanyak 1,2 juta hektare (33%) menjadi lokasi pertambangan batubara dan 618 ribu hektare (17%) berubah menjadi perkebunan sawit berskala besar. Hal ini ditambah dengan terjadinya perampasan lahan yang menjadi ruang hidup masyarakat dan perusakan lingkungan terhadap kekayaan bentang alam (landscape) Kalsel seperti sumber energi, hutan, rawa gambut, karst, dan ekosistem esensial kalsel lainnya. Fakta ini menunjukkan buruknya model tata kelola pembangunan di Kalsel. Dalam catatan Walhi Kalsel tahun 2016 ada 1,2 juta hektare perizinan pada sektor energi (batubara), pelaku utamanya adalah Adaro Energi dan Bumi Resources yang merupakan produsen terbesar batubara di kalsel dan Indonesia. Sementara 618.000 hektare wilayah Kalsel yang berubah jadi perkebunan sawit telah merusak ekosistem rawa gambut dari 1.000.000 hektare luas rawa gambut di Kalsel, terdapat 43% wilayah yang telah berubah menjadi perkebunan sawit. Sebanyak 43% perizinan itu membebani ekosistem rawa gambut di lima kabupaten di Kalsel, tentu saja yang terjadi tidak sesuai dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan yaitu menyelaraskan pembangunan, perekonomian, lingkungan, SDA dan SDM.
Menghilangnya setengah wilayah Kalsel yang digantikan perkebunan sawit dan pertambangan batubara itu membuat kondisi lingkungan Kalsel rusak. Kerusakan itu turut menyumbang masalah saat kabut asap yang melanda beberapa wilayah kalsel pada tahun 2015.
Data LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2015 menyebutkan sebanyak 148.194 hektare lahan di Kalsel terbakar serta sebanyak 18.665 hektare yang terbakar itu merupakan lahan gambut. Sementara pantauan Walhi pada tahun 2015 terdapat 2.418 titik api di Kalsel. Sebanyak 1.830 titik api itu berada di wilayah rawa gambut, sebanyak 771 titik api berada di wilayah izin perusahaan perkebunan.
Masih menurut data Walhi Kalsel, terdapat 12 perusahaan yang wilayahnya mengalami kebakaran lahan. Uniknya, beberapa perusahaan perkebunan sawit yang telah merampas dan merusak rawa gambut di Kalsel tak tersentuh penegakan hukum. Salah satunya adalah Astra Group. Hingga kini, tak ada penegakan hukum terhadap perusahaan. Seharusnya, penegakan hukum dalam hal kebakaran hutan dan lahan itu dilakukan.
Yang terbaru adalah putusan Pengadilan Negeri Rantau yang dirilis Mahkamah Agung RI pada 28 Juli 2016. PN Rantau membebaskan PT Platindo Agro Subur (PAS) dari dakwaan telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup.
Menurut analisis Walhi Kalsel, pengrusakan rawa gambut di Banua ini didukung regulasi seperti RTRWP Kalsel Nomor 9/Tahun 2015 ayat (1) huruf b yang menyatakan sekitar 1.255.721 hektare diperuntukkan bagi perkebunan yang tersebar di lima kabupaten yang juga merupakan kawasan rawa gambut nasional yang rawan kebakaran.
Tentu saja hal tersebut mengecewakan masyarakat, jika kembali pada tahun 2015 saat kebakaran lahan gambut yang berada di beberapa daerah Kalsel banyak sekali flora dan fauna yang mati serta asap yang menyebabkan beberapa penyakit yaitu salah satunya ASMA. Semuanya akibat dari musim kemarau yang kemudian ditambah dengan intervensi beberapa pihak dengan cara membakar lahan sehingga api yang semula kecil menjadi besar. Dari hal tersebut banyak pihak yang diuntungkan terlebih perusahaan yang mempunyai niatan untuk bertanam sawit dan lainnya diwilayah tersebut.
Terjadi ketidaksinkronan antara proses pembangunan berkelanjutan dengan Hukum Lingkungan dan SDA.
Memang benar secara perlahan tingkat perekonomian di Kalimantan Selatan mulai naik ke peringkat 22 dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia 5 tahun lalu yakni di peringkat 26 se-Indonesia. Hal tersebut dikarenakan makin banyaknya pengusaha luar daerah bahkan negeri yang membuka perusahaan di Kalsel. Namun, dilihat dari konsep pembangunan berkelanjutan yang telah dijelaskan sebelumnya ternyata Kalsel tidak memenuhi dalam hal menjaga dan melestarikan sumber daya alam serta tidak sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan dasar dari Hukum Lingkungan.
Banyaknya lahan yang harusnya dapat dikembangkan menjadi salah satu sarana untuk mencari nafkah secara tradisional malah dihancurkan dengan cara modern yang mengakibatkan sulitnya lahan untuk kembali di perbaharui menjadi cambukan bagi pemerintah untuk semakin mengerti pentingnya untuk dapat menyeimbangkan konsep pembangunan berkelanjutan dengan konsep dalam hukum lingkungan. Bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab akan permasalahan yang terjadi namun juga masyarakat kalsel.
Banyaknya pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap lingkungan memunculkan penegakan hukum terhadap lingkungan hidup yang merupakan satu elemen penting dalam upaya mencapai tujuan mengapa Negara Indonesia lahir. Tujuan Negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, tujuan itu adalah : Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehingga dalam batang tubuh UUD 1945 setelah amandemen, penegakan hukum lingkungan hidup diletakan dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Salah satu pasal itu adalah pasal 28 H point 1 Undang- Undang 1945, adapun bunyi pasal itu adalah : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”.
Ketika kita kaitkan dengan lingkungan hidup, maka proses penegakan hukum berarti tegaknya norma-norma hukum dalam upaya tegaknya perlindungan hukum, maka regulasi hukum lingkungan hidup tak bisa dilupakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan.
Di Indonesia, regulasi yang mengatur tentang perlindungan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2009 adalah bagaimana penegakan hukum melalui jalur administrasi, pidana maupun perdata serta juga menjelaskan bahwa masyarakat dan pemerintah berwenang melakukan pemantauan terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
Pembangunan berkelanjutan yang menjadi ciri dari setiap daerah yang berkembang akhirnya menghasilkan sesuatu yang begitu mengganggu bagi lingkungan. Hubungan yang harusnya terjalin baik antara Pembangunan Berkelanjutan dan Hukum Lingkungan serta Sumber Daya Alam ternyata tidak menghasilkan keseimbangan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ternyata sangat sulit untuk Pembangunan Berkelanjutan menyeimbangkan diri terhadap Hukum Lingkungan serta SDA.
Pembangunan berkelanjutan tentu saja mengganggu SDA sehingga tidak sesuai dengan Hukum Lingkungan. Bagaimana Pembangunan berkelanjutan yang digadang-gadang akan semakin berkembang apabila terpaku dengan SDA dan Hukum Lingkungan ? Tentu saja untuk mencapai pembangunan yang maksimal, perekonomian yang meningkat harus mengorbankan beberapa aspek termasuk SDA. Namun apabila SDA selalu di eksplorasi secara terus menerus tentu saja akan merusak alam dan bertentangan dengan ciri-ciri pembangunan berkelanjutan serta UU No.32 tahun 2009.
Sangat perlu bagi pemprov Kalsel mengubah model tata kelola pembangunan yang ada menjadi kebijakan yang pro kepentingan rakyat, menjaga bentang alam Kalsel dengan tak lagi memberi izin bagi kegiatan penambangan batubara dan perkebunan sawit. Negara harusnya membentuk pengadilan lingkungan untuk menjerat para perusak lingkungan. Sehingga pembangunan berkelanjutan dapat selaras dengan hukum lingkungan dan sumber daya alam yang ada di Kalimantan Selatan ini.
Hukum Lingkungan dan SDA Hantui Pembangunan Berkelanjutan di KALSEL
Indonesia merupakan salah satu negara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah dan tidak terhingga, hal tersebut telah diakui oleh banyak negara di dunia. Bahkan salah satu paru-paru dunia terletak di Indonesia yaitu pulau Kalimantan. Hutan tropis yang sangat khas, ragam pohon, tumbuhan, hewan, batu dan hasil tambang menjadi salah satu daya tarik bagi banyak perusahaan asing untuk menanamkan usaha modalnya di Tanah Borneo.
Salah satu provinsi di Kalimantan yang terkenal dengan hasil tambang dan keanekaragaman hayati dan flora serta fauna adalah Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan yang terletak pada bagian Tengah dari Indonesia sangat terkenal dengan sebutan Kota Seribu Sungai, Lahan Gambut yang begitu luas serta Satwa Langka yang patut dilindungi yaitu Bekantan.
Kalimantan Selatan (Kalsel) kini semakin gencar untuk melakukan pembangunan-pembangunan dalam berbagai bidang, dilihat dari Pembangunan yang terjadi saat ini merujuk pada Pembangunan berkelanjutan yang merupakan pembangunan dengan memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengurangi kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dari generasi yang akan datang. Ketika berbicara mengenai Pembangunan Berkelanjutan tentu kita harus mengerti tentang konsep Pembangunan Bekelanjutan.
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang dapat berlangsung secara terus menerus dan konsisten dengan menjaga kualitas hidup dengan tidak merusak lingkungan dan mempertimbangkan cadangan sumber daya yang ada untuk kebutuhan masa depan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penerapan pembangunan berkelanjutan dalam perencanaan wilayah dan kota dilakukan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan seperti pemerataan pembangunan, penghematan energi, pelestarian ekologi atau lingkungan, pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada peningkatan performa, dan menyerap peran serta masyarakat dalam proses pembangunan secara maksimal.
Konsep pembangunan berkelanjutan saat ini semakin berhasil mempengaruhi perencanaan dan kebijakan publik di tingkat lokal, regional, negara, dan tingkat federal. Pembangunan berkelanjutan digunakan sebagai prinsip pengorganisasian visi dan rencana komprehensif di berbagai tingkat pemerintahan.
Dengan niatan untuk mensejahterakan rakyat dalam proses pembangunan berkelanjutan akhirnya pemerintah berfokus pada perekonomian dan menghalalkan segala cara untuk meningkatkan pendapatan daerah. Akibatnya menurut survey yang dilakukan oleh WALHI sebanyak 50% wilayah Kalsel hilang dan digantikan pertambangan batu bara dan perkebunan sawit dari 3,75 juta hektare wilayah Kalsel, sebanyak 1,2 juta hektare (33%) menjadi lokasi pertambangan batubara dan 618 ribu hektare (17%) berubah menjadi perkebunan sawit berskala besar. Hal ini ditambah dengan terjadinya perampasan lahan yang menjadi ruang hidup masyarakat dan perusakan lingkungan terhadap kekayaan bentang alam (landscape) Kalsel seperti sumber energi, hutan, rawa gambut, karst, dan ekosistem esensial kalsel lainnya. Fakta ini menunjukkan buruknya model tata kelola pembangunan di Kalsel. Dalam catatan Walhi Kalsel tahun 2016 ada 1,2 juta hektare perizinan pada sektor energi (batubara), pelaku utamanya adalah Adaro Energi dan Bumi Resources yang merupakan produsen terbesar batubara di kalsel dan Indonesia. Sementara 618.000 hektare wilayah Kalsel yang berubah jadi perkebunan sawit telah merusak ekosistem rawa gambut dari 1.000.000 hektare luas rawa gambut di Kalsel, terdapat 43% wilayah yang telah berubah menjadi perkebunan sawit. Sebanyak 43% perizinan itu membebani ekosistem rawa gambut di lima kabupaten di Kalsel, tentu saja yang terjadi tidak sesuai dengan konsep Pembangunan Berkelanjutan yaitu menyelaraskan pembangunan, perekonomian, lingkungan, SDA dan SDM.
Menghilangnya setengah wilayah Kalsel yang digantikan perkebunan sawit dan pertambangan batubara itu membuat kondisi lingkungan Kalsel rusak. Kerusakan itu turut menyumbang masalah saat kabut asap yang melanda beberapa wilayah kalsel pada tahun 2015.
Data LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2015 menyebutkan sebanyak 148.194 hektare lahan di Kalsel terbakar serta sebanyak 18.665 hektare yang terbakar itu merupakan lahan gambut. Sementara pantauan Walhi pada tahun 2015 terdapat 2.418 titik api di Kalsel. Sebanyak 1.830 titik api itu berada di wilayah rawa gambut, sebanyak 771 titik api berada di wilayah izin perusahaan perkebunan.
Masih menurut data Walhi Kalsel, terdapat 12 perusahaan yang wilayahnya mengalami kebakaran lahan. Uniknya, beberapa perusahaan perkebunan sawit yang telah merampas dan merusak rawa gambut di Kalsel tak tersentuh penegakan hukum. Salah satunya adalah Astra Group. Hingga kini, tak ada penegakan hukum terhadap perusahaan. Seharusnya, penegakan hukum dalam hal kebakaran hutan dan lahan itu dilakukan.
Yang terbaru adalah putusan Pengadilan Negeri Rantau yang dirilis Mahkamah Agung RI pada 28 Juli 2016. PN Rantau membebaskan PT Platindo Agro Subur (PAS) dari dakwaan telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup.
Menurut analisis Walhi Kalsel, pengrusakan rawa gambut di Banua ini didukung regulasi seperti RTRWP Kalsel Nomor 9/Tahun 2015 ayat (1) huruf b yang menyatakan sekitar 1.255.721 hektare diperuntukkan bagi perkebunan yang tersebar di lima kabupaten yang juga merupakan kawasan rawa gambut nasional yang rawan kebakaran.
Tentu saja hal tersebut mengecewakan masyarakat, jika kembali pada tahun 2015 saat kebakaran lahan gambut yang berada di beberapa daerah Kalsel banyak sekali flora dan fauna yang mati serta asap yang menyebabkan beberapa penyakit yaitu salah satunya ASMA. Semuanya akibat dari musim kemarau yang kemudian ditambah dengan intervensi beberapa pihak dengan cara membakar lahan sehingga api yang semula kecil menjadi besar. Dari hal tersebut banyak pihak yang diuntungkan terlebih perusahaan yang mempunyai niatan untuk bertanam sawit dan lainnya diwilayah tersebut.
Terjadi ketidaksinkronan antara proses pembangunan berkelanjutan dengan Hukum Lingkungan dan SDA.
Memang benar secara perlahan tingkat perekonomian di Kalimantan Selatan mulai naik ke peringkat 22 dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia 5 tahun lalu yakni di peringkat 26 se-Indonesia. Hal tersebut dikarenakan makin banyaknya pengusaha luar daerah bahkan negeri yang membuka perusahaan di Kalsel. Namun, dilihat dari konsep pembangunan berkelanjutan yang telah dijelaskan sebelumnya ternyata Kalsel tidak memenuhi dalam hal menjaga dan melestarikan sumber daya alam serta tidak sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan dasar dari Hukum Lingkungan.
Banyaknya lahan yang harusnya dapat dikembangkan menjadi salah satu sarana untuk mencari nafkah secara tradisional malah dihancurkan dengan cara modern yang mengakibatkan sulitnya lahan untuk kembali di perbaharui menjadi cambukan bagi pemerintah untuk semakin mengerti pentingnya untuk dapat menyeimbangkan konsep pembangunan berkelanjutan dengan konsep dalam hukum lingkungan. Bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab akan permasalahan yang terjadi namun juga masyarakat kalsel.
Banyaknya pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap lingkungan memunculkan penegakan hukum terhadap lingkungan hidup yang merupakan satu elemen penting dalam upaya mencapai tujuan mengapa Negara Indonesia lahir. Tujuan Negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, tujuan itu adalah : Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehingga dalam batang tubuh UUD 1945 setelah amandemen, penegakan hukum lingkungan hidup diletakan dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Salah satu pasal itu adalah pasal 28 H point 1 Undang- Undang 1945, adapun bunyi pasal itu adalah : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”.
Ketika kita kaitkan dengan lingkungan hidup, maka proses penegakan hukum berarti tegaknya norma-norma hukum dalam upaya tegaknya perlindungan hukum, maka regulasi hukum lingkungan hidup tak bisa dilupakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan.
Di Indonesia, regulasi yang mengatur tentang perlindungan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2009 adalah bagaimana penegakan hukum melalui jalur administrasi, pidana maupun perdata serta juga menjelaskan bahwa masyarakat dan pemerintah berwenang melakukan pemantauan terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
Pembangunan berkelanjutan yang menjadi ciri dari setiap daerah yang berkembang akhirnya menghasilkan sesuatu yang begitu mengganggu bagi lingkungan. Hubungan yang harusnya terjalin baik antara Pembangunan Berkelanjutan dan Hukum Lingkungan serta Sumber Daya Alam ternyata tidak menghasilkan keseimbangan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, ternyata sangat sulit untuk Pembangunan Berkelanjutan menyeimbangkan diri terhadap Hukum Lingkungan serta SDA.
Pembangunan berkelanjutan tentu saja mengganggu SDA sehingga tidak sesuai dengan Hukum Lingkungan. Bagaimana Pembangunan berkelanjutan yang digadang-gadang akan semakin berkembang apabila terpaku dengan SDA dan Hukum Lingkungan ? Tentu saja untuk mencapai pembangunan yang maksimal, perekonomian yang meningkat harus mengorbankan beberapa aspek termasuk SDA. Namun apabila SDA selalu di eksplorasi secara terus menerus tentu saja akan merusak alam dan bertentangan dengan ciri-ciri pembangunan berkelanjutan serta UU No.32 tahun 2009.
Sangat perlu bagi pemprov Kalsel mengubah model tata kelola pembangunan yang ada menjadi kebijakan yang pro kepentingan rakyat, menjaga bentang alam Kalsel dengan tak lagi memberi izin bagi kegiatan penambangan batubara dan perkebunan sawit. Negara harusnya membentuk pengadilan lingkungan untuk menjerat para perusak lingkungan. Sehingga pembangunan berkelanjutan dapat selaras dengan hukum lingkungan dan sumber daya alam yang ada di Kalimantan Selatan ini.
Komentar
Posting Komentar