WANITA DAN POLITIK : EMANSIPASI DEMOKRASI
WANITA DAN POLITIK : EMANSIPASI DEMOKRASI
KARYA TULIS ILMIAH
DISUSUN OLEH :
Yael Sharon Missy
Hafitz Muhammad Iqbal
Muslimah Hayati
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS HUKUM
BANJARMASIN
2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
ABSTRAK 3
BAB 1 PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 7
1.3 Tujuan Penulisan 7
1.4 Manfaat penulisan 8
BAB 2 PEMBAHASAN 9
2.1 Wanita DalamPemerintahan 9
2.2 Patriarki Di Indonesia 12
BAB 3 PENUTUP 14
3.1SIMPULAN DAN SARAN 14
3.1.1 SIMPULAN 14
3.1.2 SARAN 14
DAFTAR PUSTAKA 16
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,karena dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Wanita dan Politik : Emansipasi Demokrasi” ini dengan baik dan tepat waktu,meskipun banyak kekurangannya. Karya tulis ini ditujukan untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Internal Lembaga Pengkajian Penalaran dan Diskusi Hukum (LP2DH) Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.
Penulisan karya tulis ilmiah ini selesai berkat bantuan,arahan,petunjuk dan bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak.Untuk itu,pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
Bapak Mirza Satria Buana, S.H., M.H.,Phd, selaku dosen Pembina Lembaga Pengkajian Penalaran dan Diskusi Hukum (LP2DH) Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
2.Kanda Ridho Faudi, selakuketua Lembaga Pengkajian Penalaran dan Diskusi Hukum (LP2DH) Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
3.Kanda Adji Oktavian, selaku Pembina tim kami dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini.
4.Seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan makalah ini
SemogaTuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat dan berkat-Nya serta balasan yang berlipat ganda.
Penulis menyadari karya tulis ini masih jauh dari sempurna.Karena itu penulis mengharapkan kritik dansaranyang sifatnya membangun dan menyempurnakan karya tulis ini. Akhir kata, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dalam proses pembuatan karya tulis
Ilmiah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Banjarmasin, Desember 2018
Tim Penulis
ABSTRAK
Jaminan persamaan laki-laki dan perempuan khususnyadi bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar1945, 17 Agustus1945, Pasal 27 ayat(1),menyebutkan bahwa:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Namun pada pelaksanaannya baru – baru saja pemerintah mengeluarkan peraturan terkait pengwajiban kuota untuk wanita di bangku parlemen. Ada banyak persoalan terkait kepentingan perempuan yang memerlukan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislative. Data yang digunakan dalam karya tulis ini berasal dari bahan sumber hukum primer, bahan hukum skunder dan hasil kepustakaan.
Kata Kunci: perempuan, politik, perwakilan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LatarBelakang
Tahun 2019 Indonesia akan dihadapkan kembali pada sebuah ajang pesta demokrasi terbesar di Indonesia, dimana maysarakat Indonesia akan menggunakan hak pilihnya untuk ikut serta menentukan bagaimana nasib bangsa ini kedepannya. Ada hal menarik mengenai aturan pencalonan anggota leggislatif yaitu adanya aturan tentang kuota calon legislative (caleg) perempuan dalam pencalonan anggota dewan perwakilan baik di pusat maupun di daerah. Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan adalah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009.
UU No. 2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Angka 30 persen ini didasarkan pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
UU No. 10 Tahun 2008 mewajibkan parpol untuk menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat. Syarat tersebut harus dipenuhi parpol agar dapat ikut serta dalam Pemilu. Peraturan lainnya terkait keterwakilan perempuan tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2008 Pasal ayat 2 yang mengatur tentang penerapan zipper system, yakni setiap 3 bakal calon legislatif, terdapat minimal satu bacaleg perempuan.
Secara tegas hak perempuan untuk berpolitik dijamin dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada 24 Juli 1984.Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 29 Juli 1980 saat mengikuti Konferensi Perempuan se-Dunia ke II di Kopenhagen.
Kewajiban negara yang terkat dengan hak politik perempuan juga terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No.23 (Sidangke-16Tahun1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Komite ini memberikan rekomendasi bahwa negara peserta wajib:1. Menjamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan negaranya, prinsip-prinsip Konvensi yang berkaitan dengan Pasal 7 dan 8 Konvensi Perempuan; 2. Menjamin bahwa partai politik dan serikat buruh tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan Pasa l7 dan 8 Konvensi Perempuan; 3.melakukani dentifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki; 4.adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan publik yang didasarkan atas pemilihan (publicelected positions).
Berdasar latar belakang diatas, penulis memutuskan untuk membuat karya tulis ilmiah dengan judul “Wanita dan Politik : Emansipasi Demokrasi”
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang uraian diatas maka permasalahannya dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :
Mengapa perlu ada kuota calon anggota legislative perempuan?
Bagaimana sistem patriaki di masyarakat Indonesia?
Apa modarot dari pengkuotaan kader wanita dalam calon legislaitif?
1.3.Tujuan Penulisan
Adapun penulis mengangkat tema ini untuk makalah kami bertujuan untuk hal hal berikut :
1.Mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Internal Lembaga Pengkajian Penelitian Diskusi Hukum Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat
2.Mengidentifikasi Urgensi dari pengkuotaan wanita dalam dewan perwakilan rakyat
1.4.Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut:
1.Menginformasikan gambaran tanggapan masyarakat mengenai wanita dalam dewan perwakilan rakyat
2.Sebagai input informasi dalam hal pengkuotaan keterwakilan perempuan dalam pemilihan umum
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Wanita dalam Pemerintahan
Negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan, pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat disampaikan melalui lembaga perwakilan rakyat.Ketika parlemen Indonesia yang pertama dibentuk, perwakilan perempuan di lembaga itu bukan karena pilihan rakyat, tetapi pilihan dari pemuka-pemuka gerakan perjuangan, khususnya bagi mereka yang dianggap berjasa dalam pergerakan perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.Demikian seterusnya,sampai pada zaman orde baru,ketika perempuan hanya diberikan status sebagai pendamping suami, organisasi perempuan terbesar waktuitu, yaitu PKK dan Dharma Wanita tidak memberi kontribusi dalam pengambilan keputusan politis, tetapi lebih menjadi alat pelaksanaan program pemerintah yang selalu cenderung“top down”.
Secara tegas hak perempuan untuk berpolitik dijamin dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (ConventionontheEliminationofAllFormsofDiscriminationagainstWomen/CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada 24 Juli 1984. Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 29 Juli 1980 saat mengikuti Konferensi Perempuan se-Dunia ke II di Kopenhagen. Kewajiban negara yang terkait dengan hak politik perempuan juga terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No.23 (Sidangke-16Tahun1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Komite ini memberikan rekomendasi bahwa negara peserta wajib:1. Menjamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan negaranya, prinsip-prinsip Konvensi yang berkaitan dengan Pasal 7 dan 8 Konvensi Perempuan; 2. Menjamin bahwa partai politikdan serikat buruh tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan Pasa l7 dan 8 Konvensi Perempuan;3.melakukani dentifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki; 4.adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan publik yang didasarkanatas pemilihan (publicelected positions).
Penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu kewaktu agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggung jawaban yang jelas. Salah satu Undang-Undang yang mengatur pemilihan umum di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,memberikan peluang yang lebih besarbagi kaum perempuan untuk menempatkan kadernya dilembaga legislatif. Bagi partai politik yang minim kader perempuannya akan menimbulkan kesulitandan berdampak tidak terisinya seluruh daerah pemilihan yang menawarkan kursi legislatif. Selainitu,tanpa mengabaikan kelemahannya,Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih memberikan ruang kepada pemilih untuk memaksimalkan target pilihan, ketimbang kekuasaan pengurus partai politik,sepertisebelumnya. Paracalon legislatif yang diajukan oleh partai politik yang mengusungnya harus lebih berkualitas,apalagi calon legislatif untuk lembaga legislatif daerah, harus betul-betul mengakar didaerah. Calon Legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia akan terbantu oleh buah kerja keras calon legislatif didaerah. Hal ini dikarenakan penentuan peraihan kursi baru bisa dilakukan setelah menembus lebih dulu ambang batas parlemen atau angka 2,5% suara sah secara nasional.
2.2.Patriarki di Indonesia
Budaya patriarki dan nilai-nilai sosial di Indonesia menuntut perempuan untuk tidak berpartisipasi di ranah politik maupun pemerintahan, dan politik dianggap sebuah ranah yang prerogatif milik laki-laki. Meskipun konteks sosial-budaya di Indonesia beragam dan perempuan menghadapi berbagai keterbatasan yang berbeda berdasarkan konteks yang berbeda juga, ada beberapa hambatan umum yang dihadapi oleh seluruh perempuan di negeri ini karena peran serta tanggung jawab domestik, status subordinasi dalam hubungan gender dan perilaku sosial yang bersifat patriarkis terhadap partisipasi mereka di ranah publik.
Perempuan di Indonesia secara umum bukanlah pengambil keputusan di keluarga maupun di tataran masyarakat. Karena adanya bias sosio-budaya di sub-kultur Indonesia, perempuan tertinggal dalam mengakses kesempatan yang sama terhadap sumber daya produktif, misalnya tanah, kredit, aset materiil, pengembangan keterampilan, dll. Perempuan di Indonesia juga mengalami kekurangan dalam hal modal, karena mereka bukanlah pemimpin-pemimpin di komunitas mereka dan tidak memiliki basis kekuasaan yang mandiri.
BAB II
PENUTUP
3.1. Simpulan dan Saran
3.1.1.Simpulan
Jadi dapat kita simpulkan bahwa aturan tentang kewajiban 50 persen bagi caleg perempuan adalah salah satu capaian pentong dalam perjalanan demokrasi Indonesia pasca reformasi. Secara tegas hak perempuan untuk berpolitik di jamin dalam konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination against Women/CEDAW). Kewajiban negara terkait dengan hak politik perempuan terdapat dalam rekomendasi umum CEDAW No.23 (sidang ke-16 tahun 1997) tentang perempuan dalam kehidupan publik.
3.1.2.Saran
Penyelenggaraan pemilihan umum harus dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu kewaktu agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif,dan mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.Salah satu Undang-Undang yang mengatur pemilihan umum di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DaftarPustaka
http://www.rumahpemilu.com/
https://news.detik.com/
http://blog.unnes.ac.id/
Komentar
Posting Komentar