PEMENUHAN HAK ASASI WARGA NEGARA DALAM SANITASI AMAN (PASAL 28H AYAT 4 UUD NRI 1945)

Karya : Eva Siagian


PEMENUHAN HAK ASASI WARGA NEGARA DALAM SANITASI AMAN (PASAL 28H AYAT 4 UUD NRI 1945)

Sanitasi adalah perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan berbahaya lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia. Pengertian lain dari sanitasi adalah upaya pencegahan penyakit melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi mata rantai penularan penyakit. Sanitasi pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang dihubungkan dengan tiga komponen untuk dikelola yaitu persampahan, air limbah dan drainase. Tujuan dan fungsi sanitasi ialah untuk menjaga kebersihan secara umum terhadap penyebab yang terletak pada faktor lingkungan. Sanitasi tidak hanya berimplikasi pada kesehatan masyarakat, tetapi memiliki manfaat yang luas bagi perekonomian maupun sosial budaya.
Sanitasi termasuk didalamnya empat prasarana teknologi yaitu pengelolaan kotoran manusia (feces), sistem pengelolaan air limbah (termasuk instalasi pengolahan air limbah), sistem pengelolaan sampah, dan sistem drainase atau pengelolaan limpahan air hujan.
Setiap negara di dunia perlu menerapkan hal ini agar terhindar dari bencana terkhususnya kesehatan, karena kesehatan merupakan hal penting bagi kehidupan berbangsa yang menjadi salah satu tanda sebuah Negara itu sejahtera.
Demikian pula dengan Indonesia, pemerintah Indonesia bahkan mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 186 Tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi. Perpres tersebut seakan sejalan dengan apa yang telah dituangkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 “…suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…” serta pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Ketika kita soroti sekilas, pemerintah dan masyarakat seakan sepakat serta dapat mengamalkan sanitasi dalam kehidupan sehari-hari namun pada kenyataannya tahun 2017 Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia menempati peringkat ke-2 di dunia sebagai negara dengan sanitasi terburuk sedangkan di ASEAN, Indonesia menempati peringkat pertama.
Akhirnya yang menjadi menarik bagi penulis adalah mengapa sanitasi bisa berpengaruh terhadap banyak hal, bagaimana peran pemerintah dalam pemenuhan hak warga negara dalam sanitasi aman?
Seperti yang penulis telah jelaskan diawal bahwa sanitasi merupakan upaya manusia untuk tidak bersentuhan secara langsung dengan hal-hal yang kontor dan berbahaya di lingkungan agar nantinya terhindar dari penyakit sehingga kesehatan menjadi lebih terjaga.
Suatu Negara dengan tingkat kesehatan yang buruk akan dinilai menjadi Negara yang tidak sejahtera karena kesehatan berkaitan juga dengan perekonomian, pembangunan infrastruktur serta kebijakan pemerintah di Negara tersebut sehingga bisa dikatakan asas umum pemerintahan yang baik tidak dapat terwujud sepenuhnya. Hal itu yang akhirnya menjadi ukuran bahwa sebuah Negara dengan kesehatan yang buruk pastilah mempunyai masalah pada pengelolaan kehidupan bernegaranya. Salah satu contoh Negara dengan kesehatan yang buruk serta berdampak dalam setiap aspek kehidupan menurut WHO pada tahun 2017 adalah Republik Afrika Tengah dan Republik Ceko.
Khusus Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per November 2017 menunjukkan rata-rata nasional Persentase Rumah Tangga yang memiliki akses sanitasi layak di tahun 2017 baru 67,89%, dari total 67.173,4 ribu rumah tangga. Persentasi akses terhadap sanitasi layak tidak mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 67,80%. Rata-rata nasional persentase rumah tangga yang memiliki akses air minum layak pada 2017 hanya 72,04%, sedikit meningkat dibandingkan tahun 2016 yang mencapai 71,14%.
Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya satu provinsi, yaitu Provinsi Bali yang lebih dari 90% rumah tangganya memiliki akses air minum layak dan sanitasi layak, dengan perincian 90, 85% rumah tangga memiliki akses air minum layak dan 90.51% rumah tangga memiliki sanitasi layak. DKI Jakarta 91.13 % rumah tangga memiliki akses sanitasi layak, namun hanya 88.99% rumah tangga yang memiliki akses air minum layak. Dari 34 provinsi, hanya 14 provinsi, termasuk Bali dan DKI Jakarta, yang persentase rumah tangga memiliki akses air minum layak melampaui 72 %. Tiga provinsi dengan akses air minum layak terendah adalah Bengkulu 43,83% rumah tangga, Lampung 53,79% rumah tangga dan Papua 59,09% rumah tangga.
Selain di Provinsi Bali dan DKI Jakarta, berhasil mencapai lebih dari 90% rumah tangganya memiliki sanitasi layak, ada 3 provinsi yang lebih dari 80% rumah tangganya memiliki sanitasi layak, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (89,40%), Kepulauan Riau (86,33%) dan Kepulauan Bangka Belitung (83,56%). Lima Provinsi dengan akses sanitasi layaknya sangat rendah yaitu: Papua (33, 06%), Bengkulu (42,71%), Nusa Tenggara Timur (45,31%), Kalimantan Tengah (45,46%) dan Kalimantan Barat (49,65%).
Meskipun secara nasional, terjadi peningkatan akses sanitasi layak, namun hanya 12 provinsi yang mengalami peningkatan sekitar 1% sampsi 2% persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak. Selebihnya, 22 provinsi lainnya mengalami justru mengalami penurunan 1% -5 % rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak. Provinsi yang mengalami perbaikan akses sanitasi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur , DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat.
Pencapaian keberhasilan mewujudkan akses air minum layak dan sanitasi layak, akan berkontribusi pada 5 tujuan Pembangunan Berkelanjutan lainnya, yaitu tidak ada kemiskinan, tidak ada kelaparan, kesehatan yang baik dan merata, Pendidikan berkualitas dan Kesetaraan Gender.
Selama ini, keluarga miskinlah yang tidak memiliki akses air minum dan sanitasi layak. Untuk memenuhi kebutuhan air minum, mereka menghabiskan lebih dari setengah pendapatannya untuk membeli air. Mereka juga terpaksa mengobankan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya, seperti pangan dan pendidikan, demi mencukupi kebutuhan air. Akses air minum layak bagi Rumah Tangga miskin akan menghindarkan mereka dari kekurangan pangan dan putus sekolah. Karena dana untuk membeli air, dapat dialihkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pendidikan.
Akses terhadap air minum dan sanitasi layak, juga akan menyumbang pada perbaikan status kesehatan, terutama kesehatan perempuan dan anak. Ketersediaan air minum dan sanitasi layak mengurangi tingginya Angka Kematian Bayi dan Balita, yang umumnya meninggal karena penyakit yang ditimbulkan oleh air dan sanitasi yang buruk, seperti diare, disentri, kolera, hepatitis A akut Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan tifus.
Selama ini, perempuan dan anak perempuanlah yang harus menempuh jarak yang cukup jauh dan beban berat membawa air untuk keperluan rumah tangga. Akibatnya, perempuan dan anak-anak perempuan hanya memiliki sedikit kesempatan beristirahat dan melakukan kegiatan kemasyarakatan atau kegiatan ekonomi. Akses terhadap air minum dan sanitasi layak akan berkontribusi mengurangi beban kerja perempuan dan anak perempuan, termasuk beban perempuan melakukan kerja perawatan dan pengasuhan, karena anak-anak tidak mudah sakit akibat kekurangan air minum atau mengkonsumsi air minum yang tercemar. Sehingga perempuan dan anak perempuan memperoleh cukup waktu istirahat dan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dan pemberdayaan.
Sebagian besar rumah tangga miskin tidak memiliki saluran pembuangan limbah. Mereka membuang limbah rumah tangganya di sekitar rumah. Akibatnya, lingkungan rumah tangga dipenuhi sampah dan air limbah, yang mengakibatkan penyakit dan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi lingkungan yang demikian buruk, perempuan, anak-anak, lanjut usia dan penyandang disabilitas, menjadi kelompok yang paling rentan terserang penyakit. Karena kelompok inilah yang paling banyak menghabiskan waktunya berada di lingkungan rumah. Perempuan dan anak perempuan juga menjadi lebih rentan mengalami kekerasan, terutama kekerasan seksual, manakala rumah tangga yang tidak memiliki jamban keluarga sendiri. Umumnya mereka mengandalkan jamban umum, sungai atau semak-semak untuk buang air besar, rentan menjadi korban kekerasan.
Pemerintahan daerah yang belum menempatkan sanitasi sebagai sesuatu yang penting serta kurangnya pemahaman dan kepedulian dari masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkungan agar tetap bersih menjadi faktor utama tingginya angka kematian akibat penyakit di Indonesia. Selain itu, problem yang dihadapi untuk mewujudkan sanitasi yang layak juga berkaitan dengan faktor sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Urban Sanitation Development Program dalam salah satu artikelnya menyebutkan, untuk mendongkrak partisipasi masyarakat perlu digunakan pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). STBM adalah pendekatan untuk mengubah perilaku hiegenis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pemicuan. Saat ini 18.339 dari 20.000 desa yang ditargetkan telah melaksanakan STBM. Ke depannya, STBM akan terintegrasi dalam Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman untuk pencapaian Universal Akses Sanitasi 2019.
Setiap orang mempunyai hak dan tanggung jawab untuk menjaga lingkungan terlebih Pemerintah yang merupakan duty bearer, pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk mengakselerasi pemenuhan kebutuhan dasar warga sebagaimana tercantum dalam pasal 28H ayat (1) dan 28I ayat (4) UUD NRI 1945 serta slogan “Sanitasi Urusan Kita Bersama”.
Singkatnya, keberhasilan penyediaan air minum dan sanitasi layak bagi semua orang, akan berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, perbaikan gizi dan pemenuhan pangan, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan kesempatan pendidikan, pengurangan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan serta mendukung terwujudnya kesetaraan gender. Sebaliknya, kegagalan mencapai akses air bersih dan sanitasi layak, akan melanggengkan kemiskinan, kekurangan pangan dan gizi. Serta merintangi upaya meningkatkan derajat kesehatan dan partisipasi sekolah. Kegagalan menyediakan air minum dan sanitasi layak, juga akan berakibat pada semakin sulitnya mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan bagi perempuan dan anak perempuan, yang merupakan Tujuan dan target Pembangunan Berkelanjutan (SDG’S), tujuan ke 1 hingga tujuan ke 5, akan semakin berat.
Konferensi Air Minum dan Sanitasi Nasional 2017 di Jakarta pada November 2017 mentargetkan akses universal air minum dan sanitasi layak pada 2019. Tak ada satu pun keluarga dan penduduk Indonesia yang tidak memperoleh akses terhadap air minum dan sanitasi layak. Artinya, pemerintah harus mampu menjangkau 21,5 juta rumah tangga yang belum memiliki sanitasi layak dan 18,8 juta rumah tangga yang belum memiliki akses air minum layak, hingga akhir 2019. Target ambisius ini, membutuhkan kerja keras, sumber daya manusia yang memadai, alokasi anggaran yang cukup, komitmen politik kepala desa, kepala daerah hingga presiden serta partisipasi semua pemangku kepentingan. Mengingat dalam 10 tahun terakhir rata-rata peningkatan rumah tangga yang memiliki akses air minum dan sanitasi layak, setiap tahunnya sebesar 1 % – 2 %.
Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 185 Tahun 2014 Tentang Percepatan penyediaan Air Minum dan Sanitasi, serta pencanangan Program andalan yaitu Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas), sesungguhnya merupakan salah satu bukti komitmen pemerintah untuk mewujudkan akses universal air minum dan sanitasi layak.
Sayangnya, belum semua daerah dan desa mampu mengatasi persoalan mendasar rendahnya akses air minum dan sanitasi layak, yaitu minimnya infrastruktur air minum dan infrastruktur sanitasi, mahalnya biaya untuk membangun infrastruktur tersebut dan cara pandang serta perilaku masyarakat.
Dalam Perencanaan Nasional (RPJMN 2015-2019), pembangunan infrastruktur air minum 100% saja, membutuhkan dana Rp. 275 trilun. Biaya tersebut direncanakan bersumber dari APBN sebesar Rp74,8 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp 25,3 triliun, APBD sebesar Rp121,6 triliun, PDAM Rp 30,3 triliun, serta Kemitraan Pemerintah dengan Swasta (KPS) Rp 23,1 triliun. Namun target ini, nampaknya sulit dicapai.
Di tingkat rumah tangga, dibutuhkan sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000- 7.000.000 ( lima hingga tujuh juta rupiah) untuk membangun jamban keluarga dengan septic tank, saluran pembuangan limbah dan pemasangan saluran ledeng PDAM. Bergantung tarif dan harga di masing-masing daerah. Tentu, jumlah sebesar itu, tak dapat dijangkau oleh rumah tangga miskin. Maka, dibutuhkan skema bantuan untuk meringankan rumah tangga miskin, agar memiliki air minum dan sanitasi layak.
Sanitasi yang buruk akan berakibat pada kerugian per tahun yang cukup besar. Maka dari itu sanitasi perlu diurus dengan baik agar setiap investasi akan memberikan hasil baik yang besar. Bukan hanya peran pemerintah untuk meningkatkan sanitasi yang baik dan meningkatkan mutu kesehatan namun seluruh elemen masyarakat juga perlu dalam hal ini. Kebijakan apabila tidak didukung dengan tindakan juga akan menjadi hal yang percuma. Harus ada kesadaran setiap warga Negara terhadap ‘penjagaan’ masing-masing haknya. Seluruh elemen tersebut juga termasuk anak muda.
Penulis :Eva Nopitasari Siagian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Sistem Electronic Voting dalam Pemilu 2024

Revisi Aturan Masa Tenang Sebelum Hari Pemungutan Suara untuk Mencegah Kampanye Bawah Tangan yang Mengganggu Independensi Pemilih

“Saya Hanya Mengikuti Perintah Atasan” Adalah Pembelaan Yang Dibenarkan Jika Bawahan Melakukan Kesalahan Dalam Militer