Perselisihan Pendapat antara Mahkamah Agung dan KPU Tentang Eks Koruptor Menjadi Caleg
Perselisihan Pendapat antara Mahkamah Agung dan KPU Tentang Eks Koruptor Menjadi Caleg
Disusun Oleh :
Tim 4
Dhea Hasna Fairuz (1810211220014)
M. Noor Sainanda (1710211610077)
Mutia Ariyanti (1810211220008)
Universitas Lambung Mangkurat
Fakultas Hukum
LP2DH
2018
ABSTRAK
Pemilu merupakan sebuah pesta demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penyelanggaraan pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Dalam Undang-Undang Pemilu yang sudah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebutkan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota yang tertuang pada Pasal 50 ayat 1. KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia mengeluarkan peraturan KPU No. 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota yang melarang bekas koruptor, teroris, dan narkotika mencalonkan diri, harusnya dimaknai sebagai langkah serius dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas. Dalam keputusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa larangan eks koruptor menjadi caleg merupakan bertentangan dengan UU Pemilu. Berdasarkan UU Pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib wajib mengumumkannya ke publik.
Kata Kunci : Pemilu, Eks Koruptor, KPU, Mahkamah Agung
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahwa untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintah Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensis dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien. Ketentuan mengenai pemilihan umum diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945 pasal 22E ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Dalam pasal 28 huruf D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 meyebutkan bahwa ‘’setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan’’. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam hal pemilu, hak politik warga Negara dalam pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, yakni hak untuk memilih dan dipilih merupakan suatu hak asasi yang dijamin dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya prinsip persamaan dimuka hukum harus diartikan ketidakberpihakan terhadap setiap warga masyarakat dimata hukum sehingga dapat dituntut dengan derajat yang sama tanpa membeda-bedakannya. Komisi Pemilihan Umum merupakan penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dalam melaksanakan pemilu. Dalam pasal 13 huruf b Undang-Undangm Nomor 7 Tahun 2007 tentang pemilu, KPU berwenang menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu, agar semua tahapan berjalan secara tepat waktu. Peraturan KPU yang selanjutnya disebut PKPU, adalah bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang menjadi kewenangan lembaga KPU untuk menyusunnya dalam rangka melaksanakan pemilu. Ketua KPU RI Arief Budiman telah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau kota pada Sabtu 30 Juni 2018. PKPU ini akan menjadi pedoman KPU melaksanakan tahapan pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 201. Salah satu poin di dalam PKPU tersebut mengatur mengenai pelarangan mantan narapidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon legislative. Aturan itu tertera pada pasal 7 ayat (1) huruf h yaitu bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: ‘’Bukan mantan terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Rumusan Masalah
Apa itu pemilu?
Apa saja syarat menjadi calon Legislatif?
Mengapa KPU melarang eks koruptor menjadi calon Legislatif?
Mengapa Mahkamah Agung memperbolehkan eks koruptor menjadi calon Legislatif?
BAB II
Pembahasan
Pengertian Pemilu
Pemilu merupakan sebuah pesta demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia. Menurut Pasal 1 Ayat 3 UU No.7 tentang Pemilihan Umum, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilu ini dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penyelanggaraan pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Kegiatan pemilihan umum (general election) dan atau pilkada juga merupakan salah satu cara penyaluran hak asasi manusia yang sangat prinsipil yaitu hak untuk memilih dan dipilih.
Syarat Menjadi Calon Legislatif
Lembaga legislatif bertugas untuk membuat untuk membuat Undang- Undang. Lembaga legislatif tersebut meliputi DPD, DPR, dan MPR.
Dalam Undang-Undang Pemilu yang sudah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebutkan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota yang tertuang pada Pasal 50 ayat 1 menyebutkan sebagai berikut: Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan:
Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia.
Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
Penyebab KPU Melarang Eks Koruptor Menjadi Calon Legislatif
Munculnya wacana pencambutan hak politik bagi eks koruptor melalui proses pemilihan umum karena melihat fakta bahwa banyak kasus korupsi dilakukan oleh pejabat publik. Dengan ini mengurangi kepercayaan masyarakat untuk menjadikan eks koruptor menjadi wakil bagi rakyat. Sebelumnya, KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia mengeluarkan peraturan yang bisa dibilang cukup berani, keluarnya Peraturan KPU No. 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota yang melarang bekas koruptor, teroris, dan narkotika mencalonkan diri, harusnya dimaknai sebagai langkah serius dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas. KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 sebagai acuan untuk menyusun larangan bagi mantan narapidana korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
Tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan;
Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
Bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyebab dari Keputusan Mahkamah Agung yang Memperbolehkan Eks Koruptor Menjadi Calon Legislatif
Dalam keputusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa larangan eks koruptor menjadi caleg merupakan bertentangan dengan UU Pemilu. Berdasarkan UU Pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib wajib mengumumkannya ke publik. Hak politik seseorang telah diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. putusan yang di keluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) No. 46 P/HUM/2018, Peraturan KPU dianggap batal demi hukum. Peraturan yang KPU keluarkan tidak disetujui oleh BAWASLU sehingga keduanya saling bertentangan.
BAB III
KESIMPULAN
Pemilihan umum merupakan wujud dari demokrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah guna kepentingan rakyat. Dengan adanya pemilihan umum, rakyat turut serta memberikan aspirasi politiknya yang diperuntukan memilih para wakilnya di pemerintahan. Pemilihan umum adalah langkah yang tepat dilakukan oleh pemerintah untuk melaksanakan asas kedaulatan rakyat yang telah tercantum dalam undang-undang dasar sementara. Untuk menyempurnakan undang-undang dasar yang masih bersifat sementara dan untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk di Parlemen, maka pemerintah Indonesia melaksanakan pemilihan umum yang pertama di tahun 1955 ,dan ada pun persyaratan nya kalau ingin menjadi calon anggota legislatif Dalam Undang-Undang Pemilu yang sudah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebutkan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota yang tertuang pada Pasal 50 ayat 1,dan mengapa KPU melarang seorang mantan narapidana koruptor maju menjadi seorang legislatif adalah karena di takutkan oleh pihak kpu jika mantan narapidana ini menjadi legislatif Akan melakukan kewenang yang salah atau tidak sesuai kewenangan mestinya pernah dia lakukan ketika dia menjabat dulu akan terulang lagi hal sama ,tapi dari pihak MA (Mahkamah Agung) memperbolehkan seorang mantan narapidana maju sebagai seorang legislatif karena adanya HAM (Hak Asasi Manusia)dan bertentangan dengan UU pemilu.
DAFTAR PUSTAKA
Media Indonesia. Putusan MA: Eks Koruptor Boleh “Nyaleg” . 2018. https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/20183281/putusan-ma-eks-koruptor-boleh-nyaleg . Diakses pada tanggal 13/12/2018.
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Hapsari ,Hanum. 2018. Dilema Pelarangan Mantan Narapidana Korupsi Mendaftarkan Diri Sebagai Calon Legislatif. Artikel dalam “ Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang”. No. 2. Vol.4.
Hamdie, Akhmad Nikhrawi . 2016. Hak Eks Narapidana Menjadi Anggota Legislatif Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia. Artikel dalam “ Jurnal As Siyasah”. No. 1. Vol.1
Saleh ,Muhammad, Dimas Firdausy Hunafa. 2018. Pemilu Berintegritas: Menggagas Pencabutan Hak Politik Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi yang Dipilih Melalui Pemilihan Umum. Artikel dalam “ Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang”. No. 3. Vol.4.
Faisal. 2018. Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Artikel dalam “ Jurnal Keadilan Progresif”. No. 2. Vol.9.
Disusun Oleh :
Tim 4
Dhea Hasna Fairuz (1810211220014)
M. Noor Sainanda (1710211610077)
Mutia Ariyanti (1810211220008)
Universitas Lambung Mangkurat
Fakultas Hukum
LP2DH
2018
ABSTRAK
Pemilu merupakan sebuah pesta demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penyelanggaraan pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Dalam Undang-Undang Pemilu yang sudah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebutkan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota yang tertuang pada Pasal 50 ayat 1. KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia mengeluarkan peraturan KPU No. 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota yang melarang bekas koruptor, teroris, dan narkotika mencalonkan diri, harusnya dimaknai sebagai langkah serius dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas. Dalam keputusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa larangan eks koruptor menjadi caleg merupakan bertentangan dengan UU Pemilu. Berdasarkan UU Pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib wajib mengumumkannya ke publik.
Kata Kunci : Pemilu, Eks Koruptor, KPU, Mahkamah Agung
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahwa untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintah Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka diperlukan pengaturan pemilihan umum sebagai perwujudan sistem ketatanegaraan yang demokratis dan berintegritas demi menjamin konsistensis dan kepastian hukum serta pemilihan umum yang efektif dan efisien. Ketentuan mengenai pemilihan umum diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Repuiblik Indonesia Tahun 1945 pasal 22E ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Dalam pasal 28 huruf D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 meyebutkan bahwa ‘’setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan’’. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam hal pemilu, hak politik warga Negara dalam pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, yakni hak untuk memilih dan dipilih merupakan suatu hak asasi yang dijamin dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adanya prinsip persamaan dimuka hukum harus diartikan ketidakberpihakan terhadap setiap warga masyarakat dimata hukum sehingga dapat dituntut dengan derajat yang sama tanpa membeda-bedakannya. Komisi Pemilihan Umum merupakan penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dalam melaksanakan pemilu. Dalam pasal 13 huruf b Undang-Undangm Nomor 7 Tahun 2007 tentang pemilu, KPU berwenang menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu, agar semua tahapan berjalan secara tepat waktu. Peraturan KPU yang selanjutnya disebut PKPU, adalah bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang menjadi kewenangan lembaga KPU untuk menyusunnya dalam rangka melaksanakan pemilu. Ketua KPU RI Arief Budiman telah menetapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten atau kota pada Sabtu 30 Juni 2018. PKPU ini akan menjadi pedoman KPU melaksanakan tahapan pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 201. Salah satu poin di dalam PKPU tersebut mengatur mengenai pelarangan mantan narapidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon legislative. Aturan itu tertera pada pasal 7 ayat (1) huruf h yaitu bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: ‘’Bukan mantan terpidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Rumusan Masalah
Apa itu pemilu?
Apa saja syarat menjadi calon Legislatif?
Mengapa KPU melarang eks koruptor menjadi calon Legislatif?
Mengapa Mahkamah Agung memperbolehkan eks koruptor menjadi calon Legislatif?
BAB II
Pembahasan
Pengertian Pemilu
Pemilu merupakan sebuah pesta demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia. Menurut Pasal 1 Ayat 3 UU No.7 tentang Pemilihan Umum, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilu ini dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penyelanggaraan pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Kegiatan pemilihan umum (general election) dan atau pilkada juga merupakan salah satu cara penyaluran hak asasi manusia yang sangat prinsipil yaitu hak untuk memilih dan dipilih.
Syarat Menjadi Calon Legislatif
Lembaga legislatif bertugas untuk membuat untuk membuat Undang- Undang. Lembaga legislatif tersebut meliputi DPD, DPR, dan MPR.
Dalam Undang-Undang Pemilu yang sudah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebutkan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota yang tertuang pada Pasal 50 ayat 1 menyebutkan sebagai berikut: Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi persyaratan:
Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia.
Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
Penyebab KPU Melarang Eks Koruptor Menjadi Calon Legislatif
Munculnya wacana pencambutan hak politik bagi eks koruptor melalui proses pemilihan umum karena melihat fakta bahwa banyak kasus korupsi dilakukan oleh pejabat publik. Dengan ini mengurangi kepercayaan masyarakat untuk menjadikan eks koruptor menjadi wakil bagi rakyat. Sebelumnya, KPU sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia mengeluarkan peraturan yang bisa dibilang cukup berani, keluarnya Peraturan KPU No. 20 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota yang melarang bekas koruptor, teroris, dan narkotika mencalonkan diri, harusnya dimaknai sebagai langkah serius dalam menyelenggarakan pemilu yang berintegritas. KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 sebagai acuan untuk menyusun larangan bagi mantan narapidana korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di dalam Pasal 5 disebutkan bahwa setiap penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
Mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya sebelum memangku jabatannya;
Bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat;
Melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat;
Tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
Melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan;
Melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
Bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyebab dari Keputusan Mahkamah Agung yang Memperbolehkan Eks Koruptor Menjadi Calon Legislatif
Dalam keputusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa larangan eks koruptor menjadi caleg merupakan bertentangan dengan UU Pemilu. Berdasarkan UU Pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib wajib mengumumkannya ke publik. Hak politik seseorang telah diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. putusan yang di keluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) No. 46 P/HUM/2018, Peraturan KPU dianggap batal demi hukum. Peraturan yang KPU keluarkan tidak disetujui oleh BAWASLU sehingga keduanya saling bertentangan.
BAB III
KESIMPULAN
Pemilihan umum merupakan wujud dari demokrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah guna kepentingan rakyat. Dengan adanya pemilihan umum, rakyat turut serta memberikan aspirasi politiknya yang diperuntukan memilih para wakilnya di pemerintahan. Pemilihan umum adalah langkah yang tepat dilakukan oleh pemerintah untuk melaksanakan asas kedaulatan rakyat yang telah tercantum dalam undang-undang dasar sementara. Untuk menyempurnakan undang-undang dasar yang masih bersifat sementara dan untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk di Parlemen, maka pemerintah Indonesia melaksanakan pemilihan umum yang pertama di tahun 1955 ,dan ada pun persyaratan nya kalau ingin menjadi calon anggota legislatif Dalam Undang-Undang Pemilu yang sudah disahkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebutkan persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota yang tertuang pada Pasal 50 ayat 1,dan mengapa KPU melarang seorang mantan narapidana koruptor maju menjadi seorang legislatif adalah karena di takutkan oleh pihak kpu jika mantan narapidana ini menjadi legislatif Akan melakukan kewenang yang salah atau tidak sesuai kewenangan mestinya pernah dia lakukan ketika dia menjabat dulu akan terulang lagi hal sama ,tapi dari pihak MA (Mahkamah Agung) memperbolehkan seorang mantan narapidana maju sebagai seorang legislatif karena adanya HAM (Hak Asasi Manusia)dan bertentangan dengan UU pemilu.
DAFTAR PUSTAKA
Media Indonesia. Putusan MA: Eks Koruptor Boleh “Nyaleg” . 2018. https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/20183281/putusan-ma-eks-koruptor-boleh-nyaleg . Diakses pada tanggal 13/12/2018.
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Hapsari ,Hanum. 2018. Dilema Pelarangan Mantan Narapidana Korupsi Mendaftarkan Diri Sebagai Calon Legislatif. Artikel dalam “ Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang”. No. 2. Vol.4.
Hamdie, Akhmad Nikhrawi . 2016. Hak Eks Narapidana Menjadi Anggota Legislatif Ditinjau Dari Hak Asasi Manusia. Artikel dalam “ Jurnal As Siyasah”. No. 1. Vol.1
Saleh ,Muhammad, Dimas Firdausy Hunafa. 2018. Pemilu Berintegritas: Menggagas Pencabutan Hak Politik Bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi yang Dipilih Melalui Pemilihan Umum. Artikel dalam “ Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang”. No. 3. Vol.4.
Faisal. 2018. Analisis Yuridis Pencabutan Hak Politik Terhadap Terpidana Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Artikel dalam “ Jurnal Keadilan Progresif”. No. 2. Vol.9.
Komentar
Posting Komentar