PEGUNUNGAN MERATUS SEBAGAI JANTUNG PENYANGGA


Oleh : Nurul Annisa

Akhir-akhir ini jagad dunia media social kita diriuhkan dengan hashtag /tagar save meratus (#SAVEMERATUS). Dimana meratus merupakan kawasan pegunungan yang berada di tenggara Pulau Kalimantan serta membelah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi dua. Pegunungan ini membentang sepanjang ± 600 km² dari arah barat daya-timur laut dan membelok ke arah utara hingga perbatasan provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Gunung Meratus memiliki ketinggian 1.901 Mdpl di perbatasan tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten  Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan. Pegunungan Meratus merupakan satu-satunya kawasan hutan alami yang tersisa di Kalimantan Selatan, yang sangat berperan dalam menjamin stabilitas iklim baik regional maupun internasional, daerah tangkapan air yang vital bagi sungai-sungai utama di Kalimantan Selatan dan menara air (water tower) yang menjadi penopang sistem penunjang kehidupan (life support system) bagi usaha-usaha pertanian, industri, sumber energy alternatif, sumber air minum dan kebutuhan domestik lainnya.
Dibandingkan dengan kawasan lain di Kalimantan, disepanjang Pegunungan Meratus ini memang kaya akan kandungan flora dan fauna,namun saat ini itu semua pelan – pelan sudah mulai tergerus. Di samping itu, kawasan ini tengah menghadapi ancaman serius dan sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Konversi lahan, fragmentasi dan alterasi habitat adalah akibat dan implikasi dari produk kebijakan yang tidak pro lingkungan dan lemahnya penegakan hukum. Kondisi tersebut semakin parah di era otonomi daerah dimana pemberian ijin konsesi untuk perkebunan skala besar, dan penambangan semakin meningkat. Bahkan, lokasi konsesi tidak jarang berada dalam kawasan lindung dan kawasan (hak ulayat) masyarakat adat Dayak Meratus, padahal Pegunungan meratus merupakan satu-satunya penyangga sumber mata air yang tersisa yang tidak boleh diganggu kelestariannya. Jika kawasan tersebut digarap, maka air dalam gunung tersebut akan bobol akibatnya delapan kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan seperti, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Balangan, Tapin, Tabalong, Tanah Laut dan Kotabaru bahkan Kabupaten Pasir di Propinsi Kalimantan Timur akan tenggelam, karena pusat penyangga air sudah tidak ada lagi
Sejak mencuatnya Surat Keputusan (SK) Izin Operasi Produksi Pertambangan untuk PT Mantimin Coal Mining (MCM) dari Menteri ESDM RI 4 Desember 2017 silam. Gerakan #SaveMeratusterus-terusan digelorakan masyarakat Kalsel. Gerakan menolak rencana aktivitas tambang jelas pecah. Wilayah kerja PT MCM melabrak HST. Mengacu data dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, kabupaten yang punya julukan Bumi Murakata ini sudah nyata-nyata dialamatkan untuk pertambangan. Meski potensi batu baranya melimpah. Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono mengatakan persoalan demikian ditegaskan pula lewat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) HST 2016–2036. Isinya menyebut Kabupaten HST memang terdapat potensi batu bara. Tapi, peruntukkannya tidak untuk dieksploitasi. "Satu-satunya kabupaten bebas tambang dan kelapa sawit itu terancam," kata Kisworo kepada Radar Banjarmasin beberapa waktu lalu.
Adapun kawasan pedesaan yang terancam pertambangan Meliputi Desa Batutangga, Nateh, dan Pambakulan. Selain melabrak tiga kawasan perdesaan tersebut Sungai dan Bendung Batang Alai juga terkena dampak apabila operasi produksi pertambangan benar-benar dilakukan. Bendung ini punya beragam manfaaat. Diantaranya, untuk irigasi pertanian, perikanan, dan sumber air minum warga. Selain kerusakan alam, dengan adanya pertambangan di Pegunungan Meratus, artinya perusahaan dan pemerintah telah mendukung hancurnya manusia dan kebudayaannya.
Reklamasi yang selama ini disuarakan dalam regulasi hukum tidak memadai untuk memperbaiki Lingkungan, Kehancuran sumber daya akibat pengerukan pertambangan tidak dapat dielakkan. Pada intinya bukan hanya persoalan struktur hukum tetapi juga berada pada wilayah substansi hukumnya yang masih dirasakan kurang dipahami oleh pejabat maupun penegak hukum. Begitu banyak kelemahan yang ada pada UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba tidak dibarengi dengan berpikir progresif. Salah satunya adalah sanksi di dalamnya hanya bisa dijerat terhadap perusahaan tambang hanya bersifat administrasi. Sementara bagi rakyat yang tanpa Izin mengeruk lahan sekalipun hanya dengan alat sederhana dapat dijerat dengan sanksi pidana kurungan sampai 10 tahun
Tentu saja masih banyak lagi permasalahan lingkungan hidup di kalsel yang sulit disebutkan satu-persatu  yang kesemuanya timbul akibat dari “pembangunan dan investasi” yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan, dan akan menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita semua, apakah pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek lingkungan hidup masih diperhatikan dalam perencanaan pembangunan kita, apakah kondisi lingkungan hidup kita semakin hari, semakin bertambah baik atau bertambah buruk, sebuah pertanyaan yang harus segera di jawab para pemangku kepentingan agar sumber daya alam kalsel dan negeri ini masih mampu untuk menjadi warisan bagi generasi yang akan datang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penggunaan Sistem Electronic Voting dalam Pemilu 2024

Revisi Aturan Masa Tenang Sebelum Hari Pemungutan Suara untuk Mencegah Kampanye Bawah Tangan yang Mengganggu Independensi Pemilih

“Saya Hanya Mengikuti Perintah Atasan” Adalah Pembelaan Yang Dibenarkan Jika Bawahan Melakukan Kesalahan Dalam Militer