TUMPULNYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
karya : Resty Amelia Rusnawardhany
Penegakan hukum di Indonesia terkesan masih
berat sebelah, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maksudnya penegakan hukum di
Indonesia tidak sama antara rakyat kecil dan para penjabat Negara. Para
koruptor di negeri ini hanya diberi hukuman 3 tahun penjara, sedangkan seorang
yang mencuri sandal saja dapat dihukum berat. Hal ini jelas melanggar UUD Pasal
28 D Ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.” Dari ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa setiap orang berhak
diperlakukan sama dihadapan hukum. Tidak peduli status sosialnya, baik dia
pemulung sampai Presiden sekalipun harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Hal
yang tidak bisa dipungkiri pada jaman sekarang, orang yang lemah akan semakin
ditindas. Hal ini banyak terlihat dalam hal penegakan hukum, masyarakat kecil
sering dimarginalkan. Di tengah ketidakmampuan, mereka tidak mendapatkan
bantuan hukum yang benar dan mamadai. Hukum hanya tajam kepada rakyat kecil.
Sebagai contoh misalnya kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah
yang hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta rupiah. Ratu
Atut telah melakukan suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar sebesar 1 Milyar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan
pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Bandingkan dengan kasus seorang nenek yang
mencuri singkong karena kelaparan dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara.
Rasanya sangat tidak adil melihat kedua kasus ini. Bagi masyarakat kalangan
bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi kalangan atas
atau penjabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan
tuntutan hukum. Bagaimana Indonesia bisa maju? Penegakan hukum saja masih
tumpul. Keadaan ini tentu seharusnya menjadi “PR besar” bagi para aparat dan
penegak hukum di Indonesia, bukan malah pamer kekuasaan hukumnya. Penegakan
hukum merupakan kewibawaan suatu negara sehingga hukum harus ditegakkan, kata
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar. “Apabila penegakan hukum di
suatu Negara tidak bisa diciptakan maka kewibawaan Negara tersebut pun runtuh,”
katanya pada refleksi akhir tahun bertema “Penegakan Hukum: Antara Cita dan
Fakta”, di Yogyakarta, Kamis (26/12). Menurut dia, penegakan hukum di Indonesia
cukup memprihatinkan terutama tindak pidana korupsi yang bersifat sistemik dan
memunculkan banyak ketidakadilan bagi masyarakat. “Hingga 2013 kejahatan hak
asisi manusia bermetamorfosis menjadi perampasan hak-hak ekonomi dan sosial
milik rakyat melalui gurita korupsi politik yang endemik. Korupsi sudah merayap
ke berbagai sektor dan instansi di Indonesia yang tentu menghancurkan moral
bangsa,” katanya.
Dulu ketika jaman Orde Lama, “hukum” bagaikan sampah yang tiada artinya, bayangkan dahulu itu walaupun penjabat korupsi sebesar-besarnya tidak akan dipertanggungjawabkan masalah hukumnya. Seiring berjalannya waktu sampai sekarang masih dalam perspektif yang sama yaitu “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas.” Menyedihkan melihat negeri kita yang baru seumur jagung ini, 70 tahun merdeka masih banyak rakyat yang kelaparan di tengah tumpulnya hukum di tanah air. Saya sangat kesal terhadap para penjabat maupun politikus yang kerap menyalahgunakan wewenangnya dalam mengambil keputusan. Aparat penegak hukum sangat lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang tidak memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Adanya “Transaksional” dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini maksudnya adalah adanya transaksi “jual-beli” hukum, hukum dianggap sesuatu yang tidak bernilai sehingga mampu diperjualbelikan oleh pihak penguasa untuk mempermudah keinginannya. Lembaga hukum yang seharusnya menjunjung tinggi hukum malah dapat dibayar untuk melepaskan para terpidana dari hukumannya. Saya tegaskan, keadilan hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, hukum yang tidak memihak (tanpa pandang bulu). Lembaga hukum harus menjunjung tinggi hukum, dengan mengambil suatu tindakan atau keputusan dengan seadil-adilnya tanpa adanya kecurangan atau keberpihakkan kepada salah satu pihak yang akan menguntungkan bagi dirinya.
Dulu ketika jaman Orde Lama, “hukum” bagaikan sampah yang tiada artinya, bayangkan dahulu itu walaupun penjabat korupsi sebesar-besarnya tidak akan dipertanggungjawabkan masalah hukumnya. Seiring berjalannya waktu sampai sekarang masih dalam perspektif yang sama yaitu “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas.” Menyedihkan melihat negeri kita yang baru seumur jagung ini, 70 tahun merdeka masih banyak rakyat yang kelaparan di tengah tumpulnya hukum di tanah air. Saya sangat kesal terhadap para penjabat maupun politikus yang kerap menyalahgunakan wewenangnya dalam mengambil keputusan. Aparat penegak hukum sangat lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang tidak memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Adanya “Transaksional” dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini maksudnya adalah adanya transaksi “jual-beli” hukum, hukum dianggap sesuatu yang tidak bernilai sehingga mampu diperjualbelikan oleh pihak penguasa untuk mempermudah keinginannya. Lembaga hukum yang seharusnya menjunjung tinggi hukum malah dapat dibayar untuk melepaskan para terpidana dari hukumannya. Saya tegaskan, keadilan hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, hukum yang tidak memihak (tanpa pandang bulu). Lembaga hukum harus menjunjung tinggi hukum, dengan mengambil suatu tindakan atau keputusan dengan seadil-adilnya tanpa adanya kecurangan atau keberpihakkan kepada salah satu pihak yang akan menguntungkan bagi dirinya.
Nama: Resty Amelia Rusnawardhany
TUMPULNYA
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Penegakan hukum di Indonesia terkesan masih
berat sebelah, tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maksudnya penegakan hukum di
Indonesia tidak sama antara rakyat kecil dan para penjabat Negara. Para
koruptor di negeri ini hanya diberi hukuman 3 tahun penjara, sedangkan seorang
yang mencuri sandal saja dapat dihukum berat. Hal ini jelas melanggar UUD Pasal
28 D Ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.” Dari ayat tersebut sudah sangat jelas bahwa setiap orang berhak
diperlakukan sama dihadapan hukum. Tidak peduli status sosialnya, baik dia
pemulung sampai Presiden sekalipun harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Hal
yang tidak bisa dipungkiri pada jaman sekarang, orang yang lemah akan semakin
ditindas. Hal ini banyak terlihat dalam hal penegakan hukum, masyarakat kecil
sering dimarginalkan. Di tengah ketidakmampuan, mereka tidak mendapatkan
bantuan hukum yang benar dan mamadai. Hukum hanya tajam kepada rakyat kecil.
Sebagai contoh misalnya kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah
yang hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta rupiah. Ratu
Atut telah melakukan suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil
Mochtar sebesar 1 Milyar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan
pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Bandingkan dengan kasus seorang nenek yang
mencuri singkong karena kelaparan dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara.
Rasanya sangat tidak adil melihat kedua kasus ini. Bagi masyarakat kalangan
bawah perlakuan ketidakadilan sudah biasa terjadi. Namun bagi kalangan atas
atau penjabat yang punya kekuasaan sulit rasanya menjerat mereka dengan
tuntutan hukum. Bagaimana Indonesia bisa maju? Penegakan hukum saja masih
tumpul. Keadaan ini tentu seharusnya menjadi “PR besar” bagi para aparat dan
penegak hukum di Indonesia, bukan malah pamer kekuasaan hukumnya. Penegakan
hukum merupakan kewibawaan suatu negara sehingga hukum harus ditegakkan, kata
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar. “Apabila penegakan hukum di
suatu Negara tidak bisa diciptakan maka kewibawaan Negara tersebut pun runtuh,”
katanya pada refleksi akhir tahun bertema “Penegakan Hukum: Antara Cita dan
Fakta”, di Yogyakarta, Kamis (26/12). Menurut dia, penegakan hukum di Indonesia
cukup memprihatinkan terutama tindak pidana korupsi yang bersifat sistemik dan
memunculkan banyak ketidakadilan bagi masyarakat. “Hingga 2013 kejahatan hak
asisi manusia bermetamorfosis menjadi perampasan hak-hak ekonomi dan sosial
milik rakyat melalui gurita korupsi politik yang endemik. Korupsi sudah merayap
ke berbagai sektor dan instansi di Indonesia yang tentu menghancurkan moral
bangsa,” katanya.
Dulu ketika jaman Orde Lama, “hukum” bagaikan sampah yang tiada artinya, bayangkan dahulu itu walaupun penjabat korupsi sebesar-besarnya tidak akan dipertanggungjawabkan masalah hukumnya. Seiring berjalannya waktu sampai sekarang masih dalam perspektif yang sama yaitu “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas.” Menyedihkan melihat negeri kita yang baru seumur jagung ini, 70 tahun merdeka masih banyak rakyat yang kelaparan di tengah tumpulnya hukum di tanah air. Saya sangat kesal terhadap para penjabat maupun politikus yang kerap menyalahgunakan wewenangnya dalam mengambil keputusan. Aparat penegak hukum sangat lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang tidak memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Adanya “Transaksional” dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini maksudnya adalah adanya transaksi “jual-beli” hukum, hukum dianggap sesuatu yang tidak bernilai sehingga mampu diperjualbelikan oleh pihak penguasa untuk mempermudah keinginannya. Lembaga hukum yang seharusnya menjunjung tinggi hukum malah dapat dibayar untuk melepaskan para terpidana dari hukumannya. Saya tegaskan, keadilan hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, hukum yang tidak memihak (tanpa pandang bulu). Lembaga hukum harus menjunjung tinggi hukum, dengan mengambil suatu tindakan atau keputusan dengan seadil-adilnya tanpa adanya kecurangan atau keberpihakkan kepada salah satu pihak yang akan menguntungkan bagi dirinya.
Dulu ketika jaman Orde Lama, “hukum” bagaikan sampah yang tiada artinya, bayangkan dahulu itu walaupun penjabat korupsi sebesar-besarnya tidak akan dipertanggungjawabkan masalah hukumnya. Seiring berjalannya waktu sampai sekarang masih dalam perspektif yang sama yaitu “Tajam ke bawah, Tumpul ke atas.” Menyedihkan melihat negeri kita yang baru seumur jagung ini, 70 tahun merdeka masih banyak rakyat yang kelaparan di tengah tumpulnya hukum di tanah air. Saya sangat kesal terhadap para penjabat maupun politikus yang kerap menyalahgunakan wewenangnya dalam mengambil keputusan. Aparat penegak hukum sangat lembek dan pedang hukum terasa tumpul ketika menangani atau berhadapan dengan pelaku tindak pidana yang pelakunya dari golongan kasta atas. Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang tidak memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka yang berkuasa dan yang tak punya kuasa. Adanya “Transaksional” dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam hal ini maksudnya adalah adanya transaksi “jual-beli” hukum, hukum dianggap sesuatu yang tidak bernilai sehingga mampu diperjualbelikan oleh pihak penguasa untuk mempermudah keinginannya. Lembaga hukum yang seharusnya menjunjung tinggi hukum malah dapat dibayar untuk melepaskan para terpidana dari hukumannya. Saya tegaskan, keadilan hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, hukum yang tidak memihak (tanpa pandang bulu). Lembaga hukum harus menjunjung tinggi hukum, dengan mengambil suatu tindakan atau keputusan dengan seadil-adilnya tanpa adanya kecurangan atau keberpihakkan kepada salah satu pihak yang akan menguntungkan bagi dirinya.
Komentar
Posting Komentar