PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN BENCANA
Bencana
tsunami di Palu dan Donggala memaksa puluhan ribu orang mengungsi di beberapa
tempat yang dianggap aman. Masyarakat Indonesia pun saling bahu-membahu untuk
memberikan bantuan untuk masyarakat yang mengalami bencana alam tersebut. Tetapi,sampai
kini dan karena penyaluran bantuan untuk menyelamatkan jiwa dilakukan
tergesa-gesa, hanya sedikit perhatian tertuju pada hak-hak korban yang
mengungsi terutama kepada anak-anak korban bencana.
Terdapat
banyak masalah yang terjadi dan menjadi PR besar bagi pemerintah dalam
mengatasi dan melindungi korban bencana terutama anak-anak, dapat diambil
contoh pada bencana tsunami di aceh dan konflik antar etnis di Indonesia yang
terjadi beberapa tahun lalu, dan itu belum tertangani dengan maksimal baik dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerahnya yang terkena bencana.
Anak
merupakan 35 persen dari total penduduk di wilayah bencana yang perlu
diperhitungkan dan perlu mendapat perhatian orangtua, masyarakat dan
pemerintah. Pelajaran besar yang dapat dipetik dari berbagai bencana adalah
dampaknya bagi anak-anak terutama anak usia dini. Kelompok inilah yang paling
rentan menjadi korban pertama dan paling menderita daripada orang dewasa,
karena mereka belum bisa menyelamatkan diri sendiri, sehingga peluang menjadi
korban lebih besar.
Berdasarkan
Konvensi Hak-hak Anak (KHA), penanganan anak korban bencana secara cepat dan
tepat perlu memperhatikan 4 prinsip KHA:
1. Non diskriminasi, yaitu bertindak adil dan tidak
membeda-bedakan pada semua anak.
2. Kepentingan terbaik anak, yaitu mengupayakan semua keputusan,
kegiatan, dan dukungan dari para pihak yang berpengaruh semata-mata untuk
kepentingan terbaik anak.
3. Mengutamakan hak anak akan hidup,
kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang, yaitu kegiatan disusun untuk meningkatkan perkembangan
anak berdasarkan kemampuan dan tugas-tugas perkembangannya.
4. Menghormati pandangan anak, yaitu memperhatikan dan memasukkan
pandangan anak dalam setiap proses pembahasan dan pengambilan keputusan setiap
kegiatan.
Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi sulit tersebut, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan
dalam beberapa pasal, sebagai berikut: Pertama, pada pasal 59,
diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya, berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi
darurat.Kedua, pada pasal 60 dinyatakan antara lain bahwa anak
dalam situasi darurat adalah anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak dalam situasi
konflik bersenjata. Ketiga, pada pasal 62 dinyatakan bahwa perlindungan
khusus tersebut dilaksanakan melalui:
1. Pemenuhan kebutuhan dasar yang
terdiri atas pangan, sandang, permukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan
berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan
2. Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak
yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.
Namun, fakta di lapangan terhadap penanganan perlindungan
anak di Indonesia pada saat bencana itu terjadi, belumlah optimal, antara lain
karena:
1. Penanganan bencana selama ini masih
terpusat pada tahap penyelamatan korban, dan belum menyentuh pada pemulihan hak
anak korban bencana.
2. Terbatasnya pengetahuan orang tua
dan masyarakat tentang perlindungan anak khususnya dalam situasi bencana.
3. Terbatasnya sumber daya bagi
perlindungan anak korban bencana.
4. Koordinasi dan kerjasama antara
lembaga belum efektif dalam upaya perlindungan terhadap anak korban bencana.
5. Rusaknya bermacam fasilitas
menimbulkan masalah tersendiri yang harus dihadapi oleh anak seperti :
a. Masalah gizi.
b. Masalah kesehatan (penyakit
menular).
c. Masalah pendidikan.
d. Masalah sanitasi lingkungan karena
kurangnya persediaan air bersih, terbatasnya tempat penampungan pengungsi
(papan) dan sandang, serta fasilitas bermain.
e. Terpisahnya anak dari orang tua,
keluarga, dan komunitasnya.
f. Rentan terhadap tindak kekerasan,
eksploitasi, dan perdagangan anak.
Berbagai faktor kendala perlindungan anak dalam penanganan bencana
alam di Indonesia antara lain:
- Belum adanya Undang-Undang tentang penanggulangan bencana.
- Belum ada rumusan kebijakan tentang perlindungan khusus bagi anak dalam situasi darurat.
- Penanganan bencana selama ini masih terpusat pada tahap penyelamatan korban, dan belum menyentuh pada pemulihan hak anak korban bencana.
- Terbatasnya pengetahuan orang tua dan masyarakat tentang perlindungan anak khususnya dalam situasi bencana.
- Terbatasnya sumber daya bagi perlindungan anak korban bencana.
- Koordinasi dan kerjasama antara lembaga belum efektif dalam upaya perlindungan terhadap anak korban bencana.
Pelajaran besar yang dapat dipetik dari berbagai
bencana adalah anak-anak terutama anak usia dini, merupakan kelompok paling
rentan yang menjadi korban pertama dan paling menderita daripada orang dewasa.
Mereka belum bisa menyelamatkan diri sendiri, sehingga peluang menjadi korban
lebih besar. Sebagai akibatnya mereka mengalami trauma fisik dan psikis yang
salah satunya karena kehilangan orang tua dan keluarganya; selain itu,
keterbatasan pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pangan, mengakibatkan mereka
mengalami kekurangan gizi; pelayanan kesehatan, sanitasi, dan air bersih di
tempat penampungan (pengungsian) yang terbatas mengakibatkan mereka mudah
terserang berbagai macam penyakit; akses terhadap pendidikan, perolehan
informasi dan hiburan dari televisi, radio, telepon dan suratkabar juga
terbatas; demikian pula anak-anak beresiko terhadap tindak kekerasan seperti
menjadi sasaran perdagangan dan pengiriman keluar daerah bencana (trafiking).
Akan tetapi penanganan perlindungan anak secara umum belum maksimal, namun
kejadian-kejadian bencana memerlukan perhatian yang khusus terdapa anak dalam
siatusi bencana.
Komentar
Posting Komentar